Dominasi Petahana DKI
Bukan Ahok
kalau takut popularitasnya anjlok. Alih alih mencuri simpati warga di saat
kontes Pilkada DKI kian dekat, Ahok tetap bergeming melaksanakan kebijakan yang
beresiko menurunkan elektabilitasnya. Tidak lama setelah ia bersama Djarot
Syaiful Hidayat mendaftarkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur,
pria kelahiran Belitung Timur 1966 ini langsung memerintahkan bawahannya
menggusur puluhan rumah warga Bukit Duri yang memenuhi bantaran Kali Ciliwung.
Protes warga, kritik lawan lawan politiknya seolah dianggap angin lalu. Bahkan
Ahok tetap kukuh meski proses hukum atas sengketa tanah itu masih berjalan di
pengadilan. Tidak cukup sampai disitu, setelah sukses mengeksekusi puluhan
bangunan di Bukit Duri, Ahok kini mengincar bangunan liar sepanjang Kali Krukut
yang berlokasi di kawasan Kemang.
Pict : mediajakarta.com |
Sikap Ahok
yang tak pernah kompromi ini memang bukan yang pertama kalinya. Tengok saja
kasus penggusuran kawasan prostitusi Kalijodo Februari silam. Konon kawasan ini
termasuk yang paling angker di Jakarta. Meski berada di zona jalur hijau,
puluhan bangunan liar beserta aktifitas para penghuninya seolah tak pernah bisa
dijangkau tangan penguasa. Bahkan laskar laskar yang biasanya galak merazia
tempat tempat maksiat, ciut nyali jika harus berhadapan dengan para centeng
Kalijodo. Walau sempat mendapatkan perlawanan keras dari warga Kalijodo, Ahok
akhirnya sukses menutup kawasan hitam yang sudah beroperasi selama puluhan
tahun itu.
Kebijakan
Ahok, terutama dalam hal penertiban kawasan yang merupakan jalur hijau, bantaran
kali dan area resapan memang sekilas tampak tidak manusiawi. Karena ini
menyangkut tempat tinggal, ekonomi dan masa depan para korban penggusuran. Tapi
untuk kepentingan jangka panjang, yakni menciptakan kota Jakarta yang layak
huni, modern dan terbebas dari bencana banjir kebijakan itu memang harus
dilakukan.
Sumber BPBD
(Badan Penanggulangan Bencana Daerah) DKI melaporkan bahwa titik banjir di era
pemerintahan Fauzi Bowo sejumlah 62 titik. Pada masa Jokowi yang kemudian
dilanjutkan Ahok, titik banjir berkurang hampir separuhnya. Keberhasilan
mengurangi titik yang selama ini menjadi langganan banjir ini tentu tak lepas
dari kebijakan tanpa kompromi Pemda DKI.
Di sektor
pendidikan, pemprov DKI pada tahun 2015 telah mengalokasikan 2,3 T untuk
561.408 siswa tidak mampu melalui Kartu Jakarta Pintar. Bandingkan dengan
pemerintahan sebelumnya di era Fauzi Bowo yang hanya menganggarkan sekitar 22
milyar.
Setali tiga
uang, anggaran kesehatan untuk rakyat miskin di era Ahok mengalami peningkatan
luar biasa jika dibanding dengan era sebelumnya. Foke melalui program Jamkesda
mengalokasikan anggaran sekitar 600 milyar. Sementara data pada 2015, APBD DKI
menganggarkan 1,3 trilyun untuk program sejenis (Kartu Jakarta Sehat).
Beralih ke
masalah kemacetan di Jakarta. Sejauh ini pemprov DKI masih belum mampu
memecahkan masalah ini. Laju penambahan jumlah kendaraan di DKI tidak seimbang
dengan penambahan lajur jalan menjadi salah satu penyebab betapa susahnya
menangani kemacetan. Pun demikian, upaya upaya yang dilakukan pemprov DKI patut
diapresiasi. Peresmian koridor XII Busway jurusan Pluit – Tanjung Priok, penambahan
armada bus Transjakarta, pembangunan jalan layang, proyek jalan tol dalam kota,
proyek MRT dan lain sebagainya adalah upaya terencana dari pemprov DKI.
Secara umum
APBD DKI di era Jokowi yang dilanjutkan Ahok – Djarot meningkat dua kali lipat
dibanding era gubernur sebelumnya. Kinerja pemerintah DKI di berbagai lini
cukup memuaskan. Hal ini tergambar dari hasil survey berbagai lembaga yang
masih menunjukkan tingginya tingkat kepuasan masyarakat.
Pertanyaannya,
kenapa tingkat kepuasan yang tinggi tidak sejalan dengan tingkat elektabilitas
petahana ?.
Pasca
pendaftaran cagub – cawagub di KPUD DKI, elektabilitas Ahok – Djarot justru
mengalami penurunan cukup signifikan. Meski masih unggul dibanding calon lain, namun keunggulan itu tidak cukup
untuk mengantarkan incumben menang satu putaran. Bahkan kemungkinan juara
bertahan kalah cukup terbuka. Setidaknya itu tergambar dalam rilis berbagai
lembaga survey belakangan ini.
Terlepas
dari validitas hasil survey yang ada, dalam kacamata penulis penurunan
elektabilitas Ahok – Djarot bisa dimaklumi. Dimana mana, kemunculan figur baru
tentu memunculkan harapan bagi pemilih. Apalagi jika kemudian dikaitkan dengan
antitesa karakter Ahok yang selama ini mendapat banyak kecaman dari berbagai kalangan.
Akan tetapi, itu bukan harga mati. Segala sesuatunya masih bersifat dinamis.
Kemungkinan elektabilitas petahana mengalami rebound cukup besar.
Jika berkaca
pada karakteristik pemilih Jakarta yang sangat rasional, tolok ukur paling
utama sudah pasti mengenai program kerja para calon dan track record mereka. Sejauh
ini, Ahok – Djarot masih yang terbaik. Keduanya sudah bekerja, mengerti
masalah, memetakan dan melakukan aksi nyata. Dari segi pengalaman menangani
daerah, Ahok adalah bekas wakil gubernur dan sekarang menjadi gubernur,
kemudian Djarot adalah mantan walikota Blitar yang cukup sukses memimpin kota.
Dengan demikian, dinilai dari penguasaan masalah, penulis menilai keduanya
lebih kompeten dibanding lawan lawannya.
Prediksi
penulis, Ahok – Djarot sangat mungkin untuk kembali terpilih. Apakah satu
putaran atau dua putaran, wallahu a’lam.
Oleh : M Hafidz
Penulis adalah pelayan Gubrak dan tinggal di kawasan Kebagusan, Jakarta Selatan
Tidak ada komentar