MENGADILI AHOK
“Bapak ibu ga bisa pilih saya, karena dibohongin pake surat almaidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan ga bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, gapapa. Karena ini kan hak pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja. Jadi bapak ibu ga usah merasa ga enak. Dalam nuraninya ga bisa pilih Ahok”
Kurang lebih penggalan kalimat itulah yang kemudian memicu reaksi sebagian kalangan umat Islam. Ucapan Ahok dianggap sudah keluar dari rel etika. Baik etika sebagai pemimpin publik maupun etika sebagai pemeluk agama di luar Islam. Lebih jauh lagi, Ahok dianggap menistakan agama. Melecehkan suatu kalam yang disakralkan dan diyakini betul kebenarannya oleh pemeluknya. Tak heran jika akibat pernyataan itu, sebagian kalangan umat Islam ada yang kemudian mengancam akan mengirimkan massa ke Jakarta guna mengadili Ahok.
Pict : Indo Headline News |
Sebelum menulis artikel ini, penulis terlebih dahulu menyimak dengan seksama dan utuh video pidato Ahok di hadapan warga Kepulauan Seribu. Dalam kacamata penulis, tidak ada yang aneh dalam pidato tersebut. Bahkan dengan penggalan penggalan kalimat yang berkaitan dengan statemen al Maidah 51. Tidak ada kesan melecehkan , menghina atau menistakan ayat. Pernyataan Ahok soal itu menurut penulis cukup runtut, jelas, bisa dimengerti dan pahami. Kita bisa menyimak pernyataan lain yang dilontarkan Ahok selain penggalan kalimat di atas. Ahok memulainya dengan mengatakan bahwa kalau ada yang lebih baik dari dia dalam hal konsep dan lebih jujur dalam memanajemen sebuah anggaran, dia menyarankan kepada audien untuk tidak memilih dia. Selain itu, Ahok juga menekankan audien untuk tidak terpengaruh dengan masa jabatannya yang tinggal setahun lagi. Program harus tetap dijalankan tak peduli apakah dia akan menjabat kembali sebagai gubernur atau tidak. Dengan demikian pernyataan selanjutnya dari Ahok mengenai Al Maidah 51 diatas tidak lebih dari upaya Ahok untuk meyakinkan audien agar tidak terpengaruh dengan kemungkinan tidak terpilihnya kembali dia.
Artinya, statemen soal Al Maidah 51 itu hanya pelengkap semata. Kenapa ?. Karena Ahok menyadari fakta di lapangan menunjukkan bahwa tidak sedikit pemilih yang menyandarkan pilihan politiknya atas dasar agama. Penyebabnya adalah keyakinan atas tafsir ayat tersebut yang secara tekstual melarang umat Islam untuk mengambil pemimpin dari kalangan non muslim. Inilah yang menjadi alasan penulis untuk mengatakan bahwa pernyataan itu biasa saja.
Pertama, penulis membaca pernyataan itu dalam koridor ketatanegaraan. Dimana negara kita tidak menempatkan agama atau salahsatu agama sebagai syarat untuk menjadi pemimpin atau pejabat. Oleh sebab itu, sudah pada tempatnya bagi kita untuk mendudukkan suatu masalah pada tempatnya. Fakta bahwa sebagian masyarakat menyandarkan pilihan karena faktor agama memang ada. Tapi itu tidaklah menjadi konsensus bersama dalam menata pemerintahan. Sama halnya dengan aturan mengenakan helm dalam berkendara. Orang boleh saja meyakini bahwa keselamatannya dalam berkendara merupakan bagian dari takdir Tuhan. Tapi itu tidak lantas menjadikannya sebagai acuan resmi.
Kedua, Ahok bukan satu satunya orang yang ‘galau’ dengan fenomena penggunaan teks teks suci untuk kepentingan politik. Betapa banyak masyarakat kita risih dengan cara meraih kekuasaan yang menggunakan teks teks suci. Betapa banyak masyarakat yang kecewa dengan tingkah laku calon pemimpin yang lebih menekankan faktor agama dalam meraih dukungan dibandingkan dengan mengajukan program nyata bagi masyarakat. Lebih lebih upaya itu dibarengi dengan fatwa fatwa pengharaman, pelarangan dan ancaman akan keselamatan umat di akhirat jika tidak mau tunduk dengan teks yang ada. Bagi masyarakat terdidik, ini preseden buruk. Kepemimpinan tidak lagi disandarkan pada profesionalitas, melainkan atas dasar keyakinan.
Ketiga, menjustifikasi Ahok sebagai penista agama sangatlah tidak adil. Apalagi ungkapan itu jelas sekali tidak ada tendensi untuk melecehkan. Betapa banyak tindakan lain yang justru lebih melecehkan, tapi kurang mendapat respon dari para pemangku agama. Ada kepala daerah yang sejak awal mempersepsikan diri dan dipersepsikan sebagai figur yang taat beribadah, tapi dalam perjalanannya mengingkari amanat rakyat. Ada yang dipercaya menjadi pemimpin bidang agama dan mendapat wewenang mengatur tetek bengek terkait kegiatan keagamaan, tapi melakukan korupsi. Ada partai yang mengklaim membawa semangat dan simbol agama, tapi kemudian kader kadernya tersangkut kejahatan korupsi.
Pertanyaannya, pernahkah lembaga keagamaan yang ada atau tokoh agama kemudian menjustifikasi mereka sebagai penista agama ?. Pernahkah para pemangku itu dengan tegas menyatakan bahwa pemimpin ini dan itu melecehkan agama, partai ini dan itu menghina agama ?. Jika ucapan bisa dengan mudah diadili, maka seharusnya tindakan lebih bisa diadili. Lebih mungkin difatwakan. Dan harusnya hukuman itu jauh lebih keras lagi karena pelakunya mengerti agama. Seperti yang diungkapkan Ali bin Abi Thalib ‘kalau Fatimah mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya’.
Mari kita simak petuah bijak dari tokoh terkemuka NU, KH Musthofa Bisri ini,
“Yang menghina agamamu tidak akan merusak agamamu. Yang merusak agamamu justru perilakumu yang bertentangan dengan ajaran agamamu”
Terlepas dari tafsir agama mengenai konsep kepemimpinan, dalam hal
memilih kepala daerah atau pemimpin di bidang lain yang dibutuhkan
sebenarnya adalah kemampuan seseorang dalam memanajemen pemerintahan.
Kemampuan dia menyejahterakan dan kejujurannya dalam mengemban amanat
rakyat. Dalam konsep demokrasi, pemimpin sejati sebenarnya adalah
pelayan rakyat. Pesuruh, abdi, budak dan alat. Tuannya adalah rakyat itu
sendiri.
Oleh : M Hafidz
Penulis adalah pelayan di Komunitas Gubrak Indonesia
Penulis adalah pelayan di Komunitas Gubrak Indonesia
Tidak ada komentar