Breaking News

Menggagas Majapahit Baru

Siang tadi, seorang kawan mengirimkan sebuah artikel pendek melalui pesan watsapp. Artikel atau lebih tepatnya opini itu berisi tentang pendapat mengenai masa depan Jakarta. Dikatakan bahwa Pilkada kali ini, siapapun pemenangnya, akan menghasilkan sesuatu yang kurang lebih sama. Reklamasi akan tetap jalan terus, kolaborasi antara penguasa dan pengusaha juga akan tetap menjadi penentu masa depan Jakarta. Pada intinya kaum kapitalislah yang akan menangguk keuntungan dari sebuah proyek prestisius bernama Jakarta modern. Sebuah kota yang di masa yang akan datang bermetamorfose menjadi seperti Kualalumpur, Taipeh atau kota kota besar dunia lainnya.

Penulis kemudian memberikan komentar atas opini itu dengan mengatakan bahwa Jakarta memang seharusnya menuju ke arah itu. Menjadi kota modern, kapitalis dan berada dalam satu titik dimana ia sejajar dengan kota kota besar mancanegara. Pertanyaannya, kenapa Jakarta harus menjadi kota kapitalis ?. Bukankah dengan menjadi kota kapitalis akan berakibat terjadinya perubahan besar dalam sosial kemasyarakatan ?. Tatanan nilai yang selama ini terbangun di masyarakat serta merta akan tergerus oleh arus kapitalis. Yang tidak memiliki modal akan terpental. Yang tidak memiliki kompetensi akan tereliminasi. Kurang lebih seperti itulah gambarannya. 
Pict : wikipedia

Ruh Jakarta adalah Kapitalis

Jauh hari sebelum bernama Jakarta, kawasan ini selama berabad abad sudah menjadi pusat bisnis yang menggiurkan. Letaknya yang strategis (menghubungkan pulau Jawa dan kawasan Melayu) dan juga ditopang adanya pelabuhan besar bernama Sunda Kelapa menjadikan kawasan ini memiliki nilai ekonomi yang luar biasa. Dari sini, hasil bumi dan rempah rempah dari seantero daratan Jawa di jual ke mancanegara. Dan dari sini pula arus barang dari mancanegara masuk lalu didistribusikan ke banyak tempat. Nilai ekonomi yang sangat tinggi inilah yang menjadi alasan kenapa banyak pihak berusaha menguasai Jakarta. Pada abad ke 5, kawasan ini dikuasai Kerajaan Tarumanegara. Sebuah kerajaan yang berpusat di Bekasi. Menjelang keruntuhannya, kota pelabuhan Sunda Kelapa dikuasai Kerajaan Sunda yang berpusat di Bogor. Dari kota pelabuhan inilah Kerajaan Sunda menjalin hubungan dagang tidak hanya dengan orang orang Melayu dan China, akan tetapi juga bangsa Eropa yang kala itu terkesima dengan hasil rempah rempah pulau Jawa. Hubungan mereka pada akhirnya tidak sekedar menyangkut ekonomi semata. Pada tahun 1522, Kerajaan Sunda menandatangani kerjasama militer dengan bangsa Portugis. Dalam perjanjian itu, Kerajaan Sunda mengijinkan Portugis membangun benteng di Sunda Kelapa, tapi sebagai kompensasinya Portugis harus bersedia membantu Kerajaan Sunda jika ada serangan dari pihak lain. 

Keberadaan Portugis di Sunda Kelapa inilah yang kemudian memancing reaksi keras dari kerajaan Islam di Jawa, Demak. Dan seolah ingin menuntaskan dendam kesumat akibat kekalahan Kerajaan Demak atas Portugis di Malaka, Raja Demak dengan dibantu kerajaan Cirebon dan Banten akhirnya mengirim balatentaranya ke Sunda Kelapa guna mengusir Portugis. Dan upaya ini akhirnya berhasil. Sunda Kelapa jatuh ke tangan tentara Kerajaan Islam dibawah kepemimpinan Fatahillah. Sejak inilah nama Sunda Kelapa diubah menjadi Jayakarta (Jakarta).

Patut disimak disini, hampir semua bangsa yang pernah menduduki wilayah Jakarta tidak serta merta menjadikan kota ini sebagai ibukota negara. Tarumanegara tetap berpusat di Bekasi, Kerajaan Sunda tetap bermarkas di Pakuan (Bogor), sementara Kerajaan Demak yang berhasil menguasai Sunda Kelapa tidak menjadikan kota ini sebagai ibukota negara maupun kota administratif. Bahkan mitra koalisi Demak yang paling dekat dengan Sunda Kelapa, yakni Kerajaan Banten juga tidak berniat memindahkan pusat kerajaannya di tempat ini. Sunda Kelapa atau Jakarta tetap diposisikan sebagai kota niaga. Yang artinya kota kapitalis. Baru setelah Belanda datang dan menguasai Jakarta, kota ini dijadikan pusat pemerintahan. 

Dengan demikian, kalau ada yang berpendapat bahwa proyek Jakarta modern akan menjadikan kota ini sebagai kawasan kapitalistik, justru itulah sebenarnya ruh dari kota Jakarta sejak berabad abad silam. Bukan sebagai ibukota negara. Oleh sebab itu, mesti dipikirkan juga bagaimana nantinya ibukota negara tidak lagi berada di Jakarta. 

Belajar dari Majapahit 

Selama ini tidak banyak yang mengetahui bahwa Majapahit sesungguhnya merupakan kerajaan maritim terkuat yang pernah ada di tanah Jawa. Di era keemasannya, armada laut Majapahit sanggup melintasi lautan luas. Kawasan yang ia takhlukkan tidak melulu daratan di pulau Jawa. Akan tetapi meluas hingga ke negeri seberang. Kalimantan, Maluku, Sumatera bahkan hingga ke tanah Melayu. Sangat mustahil jika tidak memiliki armada maritim kuat, mereka sanggup menakhlukkan negara negara seberang. Akan tetapi uniknya, pusat kerajaan Majapahit tidak berada di pesisir. Melainkan di pedalaman (Mojokerto).Demikian pula Kerajaan sebelumnya semisal Singasari, Kediri dan lain sebagainya. 

Oleh sebab itu, konsep Jakarta modern menurut penulis berarti mengembalikan fungsi Jakarta seperti semula. Sebagai kota niaga, kota bisnis dan kota kapitalis. Kota yang secara ekonomi sanggup menjadi garda depan penggerak perekonomian nasional. Bukan sebagai pusat pemerintahan atau ibukota. Ibukota negara sebaiknya dipindahkan dari Jakarta. Ada beberapa alternatif. Dipindahkan ke luar pulau Jawa semisal Kalimantan. Opsi ini memang cukup mahal, mengingat jauhnya jarak dan juga minimnya infrastruktur pendukung. Kalaupun tidak, bisa kawasan terdekat semisal Bogor atau Cianjur. Secara infrastruktur, kawasan Bogor cukup memadai. Letaknya juga dekat. Sementara Cianjur adalah kawasan dimana ditemukan situs yang konon terbesar dan termegah di nusantara, Gunung Padang. Yang terakhir ini tentu memiliki makna psikologis yang luar biasa. Karena menyangkut kebesaran peradaban nenek moyang bangsa ini.

Penulis : M Hafidz







Tidak ada komentar