JOKOWI (bisa) KALAH
Pembaca tentu masih ingat kejadian di Pilpres 2014 silam, ketika
salahsatu kontestan atau lebih tepatnya simpatisan kandidat tertentu
mengklaim didukung oleh sejumlah ulama berpengaruh di lingkungan NU.
Klaim itu kemudian dikapitalisasikan dalam bentuk alat peraga dengan
gambar tokoh NU lengkap dengan kutipan ucapannya dan di sebarkan di
berbagai media.
Terlepas dari apakah itu dilakukan oleh team
sukses atau hanya sekedar simpatisan belaka, akan tetapi imbas dari
tindakan tersebut justru menjadi blunder bagi sang calon. Hasil election
akhirnya menempatkan pihak itu sebagai yang kalah pemilu.
Penulis tidak sedang mengatakan bahwa klaim itulah penyebab utama
kekalahan. Tentu, ada banyak faktor penyebab kenapa bisa kalah. Apakah
itu program, cara berkampanye maupun faktor lainnya. Yang ingin penulis
katakan adalah, penggunaan politik primordial sesungguhnya bisa menjadi
pisau bermata dua. Anda mungkin akan meraih keuntungan dari itu semua,
namun anda ia juga berpotensi menghancurkan harapan anda.
Fenomena mobilisasi kelompok keagamaan akhir akhir inipun menjadi layak
untuk dicermati. Dalam kasus Ahok misalnya, kita menyaksikan bagaimana
elite politik berlomba lomba mengkapitalisasikan isu keagamaan demi
kepentingan masing masing. Pemilu akhirnya tidak lagi menjadi ajang adu
program, melainkan sudah terjebak pada pola permainan kasar dengan
menggunakan isu primordial.
Pasca kasus Ahok, politisasi agama
tampaknya masih akan terus berlanjut. Kelompok yang dulu begitu digdaya
karena sukses menggelar demonstrasi sejuta umat dan dilakukan hingga
berjilid jilid, bersikeras melanjutkan upayanya untuk memojokkan rezim
melalui serangkaian aksi yang bertajuk 'menolak kriminalisasi ulama'.
Hal ini akhirnya memaksa rezim untuk lebih intens lagi menghalau
serangan lawan politiknya. Berbagai macam safari politik dilakukan
Jokowi dan para pembantunya dengan mendatangi ulama dan tokoh
masyarakat.
Undangan istana kepresidenan pada ulama ulama dalam
tajuk dzikir kebangsaan menunjukkan betapa pemerintah merasa perlu
mengimbangi kelompok oposisi yang menggunakan politik SARA untuk
kepentingannya. Tentu saja hal demikian tidak serta merta bisa
disalahkan. Tergantung bagaimana motivasi dari tindakan tersebut. Apakah
itu murni demi kepentingan bangsa dan negara, ataukah hanya ingin
mengkapitalisasikannya untuk keuntungan politik.
Pepatah
mengatakan, anda boleh jadi tidak jatuh karena cacian, sebab barangkali
itu merupakan obat paling manjur dalam menata langkah. Tapi, anda bisa
saja jatuh justru karena pujian. Maka, gunakanlah kedua hal tersebut
seperlunya.
Jokowi Bisa Kalah
Dalam banyak hal, pencapaian
pemerintahan Jokowi - JK saat ini boleh dibilang fenomenal. Kinerjanya
dalam membangun negeri mendapat apresiasi luar biasa dari masyarakat.
Tak heran jika tingkat kepuasan publik atas kinerja pemerintah cukup
tinggi dan relatif stabil.
Dengan modal pencapaian dan apresiasi
masyarakat yang demikian tinggi, penggunaan politik keagamaan dalam
arti sempit bukanlah sesuatu yang menguntungkan. Ia hanya berpengaruh
pada segmen tertentu saja dan tidak menyasar secara keseluruhan
masyarakat. Jokowi tentu saja berbeda dengan Ahok. Latar belakangnya
yang muslim menjadikan Jokowi lebih kuat menghadapi serangan berbau
SARA.
Apalagi jika kemudian kita mencermati dukungan partai
partai politik untuk Jokowi agar melanjutkan kepemimpinannya di periode
mendatang, lalu dikomparasikan dengan UU Pemilu dan dinamika politik
terkini, posisi Jokowi jelas di atas angin. Deklarasi dukungan dari PPP,
Nasdem dan Golkar saja rasanya cukup menjadi garansi Jokowi untuk maju
lagi dalam pemilihan mendatang. Posisi politik Jokowi bakal lebih kokoh
lagi jika pada akhirnya PDI Perjuangan, PKB, Hanura atau malah PAN
mendeklarasikan hal yang sama. Praktis, hanya menyisakan Gerindra, PKS
dan Demokrat dalam kompetisi. Jauh lebih sulit mengkompromikan ketiga
partai tersebut dalam menentukan calon. Seperti halnya Gerindra yang
kukuh mencalonkan kembali Prabowo sebagai Presiden, Partai Demokratpun
disinyalir memiliki ambisi yang sama. Dengan acuan PT 20%, langkah
oposisi dalam mengimbangi incumben sangatlah berat.
Jika demikian, apa yang perlu dikhawatirkan lagi ?.
Dalam peperangan, penentu utama kemenangan adalah ketenangan. Sebesar apapun modal yang kita miliki, tanpa ketenangan rasanya kemenangan hanyalah sebatas angan. Ketenangan bukan saja dari panglima perang atau komandannya, akan tetapi juga pendukung di level terbawah.
Penulis melihat ada gejala yang tidak sinkron, terutama di level bawah.
Lebih lebih para pendukung fanatik. Perang opini di linimasa masih terus
berlangsung dan berjalan secara tidak sehat. Ironisnya lagi, cara cara
kotor dengan memanfaatkan sumber yang tidak jelas masih saja digunakan.
Jika ini terus berlanjut, modal politik yang sedemikian besar bisa jadi
tidak ada artinya. Sebab, ketidaktenangan berpotensi besar mengantarkan
kita pada kekalahan.
Ingat pepatah Jawa, 'sak bejo bejone wong, luwih bejo sing eling lan waspada'.
Semujur mujurnya orang, masih lebih mujur mereka yang hati hati dan
waspada. Maka, di 2019 nanti, siapa yang paling tenang, ia yang akan
menang.
Tidak ada komentar