Breaking News

BINTANG SEMBILAN DI SARANG MERCY

Jum'at kemarin saya di tanya salah seorang kawan, kemana sebaiknya PKB Gus Dur melabuhkan pilihan politiknya. Saya jawab, kalau yang prospeknya bagus, Gerindra. Setidaknya itu menurut hasil survey Tampoll Gubrak (Team Polling Gubrak) beberapa saat lalu yang memprediksikan bahwa partai besutan mantan Danjen Kopassus Prabowo Subianto itu akan memenangkan pemilu 2014. Akan tetapi yang namanya pilihan politik tentu saja terserah yang bersangkutan. Hanya saja kalau mau ambil jalan pintas tanpa perlu bekerja keras, seharusnya gerbong Yenny Wahid merapat ke partai partai yang minim resistensi.

Sabtu pagi saya mendapat kabar bahwa Yenny Wahid berencana membawa gerbong PKB Gus Dur (PKBIB) untuk bergabung ke Partai Demokrat. Sebuah berita yang cukup mengejutkan bagi saya dan mungkin publik Indonesia. Terus terang saya juga tidak bisa memahami kenapa Yenny Wahid membuat keputusan demikian. Apa untungnya ?. Apa untungnya berada dalam satu barisan bersama partai yang akhir akhir ini menjadi 'musuh' rakyat ?. Alih alih mendapat pujian dari publik, bisa saja malah mendapat cacian dan cemoohan dari masyarakat. Dan sepertinya kecaman itu sudah di lancarkan publik. Setidaknya melalui kicauan mereka di jejaring sosial.

Beberapa saat lalu saya berkomunikasi dengan beberapa petinggi PKBIB di daerah membicarakan soal langkah politik yang di ambil Ketua Umum DPN PKBIB itu. Saya ingin tahu, apakah langkah itu mendapat dukungan dari pengurus di tingkat terendah atau tidak. Ini penting. Bagaimanapun, akan terasa sia sia jika Yenny Wahid menyatakan bergabung ke Demokrat tapi tidak di ikuti oleh barisan pendukungnya. Tidak saja itu akan merugikan Partai Demokrat yang mungkin terlanjur memberi konsesi politik, akan tetapi juga berakibat fatal bagi karir Yenny Wahid sendiri. Dia hanya akan di anggap sebagai politisi oportunis yang memanfaatkan nama besar keluarganya untuk memperoleh keuntungan pribadi.

Respons kawan kawan di tingkat akar rumput PKBIB rupanya cukup positif. Bukan saja mereka siap secara moril mendukung langkah pengurus pusat, akan tetapi rupanya juga di barengi kesiapan untuk ikut ambil bagian dalam tahapan pemilu jika di perlukan. Nyaris tanpa catatan maupun keberatan. Bahkan beberapa pengurus di tingkat bawah yang saya lihat hoby menyerang partai penguasa, sama sekali tak berniat membangkang.

Ini saja sudah modal penting, sekaligus menjawab pertanyaan apakah tepat atau tidak PKBIB bergabung ke Demokrat. Artinya, langkah politik Yenny Wahid di prediksikan tidak sendirian. Gerbong PKBIB hingga tingkat terbawah kemungkinan besar akan mengikuti keputusan pengurus pusat.

Lalu bagaimana dengan sikap publik yang selama ini cenderung antipati terhadap Partai Demokrat ?.

Saya pikir, kinerja politik itu butuh waktu. Kalau Yenny Wahid dan barisannya bisa membuktikan kepada masyarakat bahwa mereka mampu mengemban kepercayaan rakyat, tidak ikutan berperilaku koruptif dan senantiasa menjaga moral, tentu penilaian itu lambat laun akan terkikis dengan sendirinya. Tapi jika di kemudian hari amunisi baru di Partai Demokrat ini sama saja dengan politisi lain yang berperilaku tercela, rakyat sudah pasti akan menghukum mereka.

Perlu di catat bahwa sistem pemilu kita menganut sistem proporsional terbuka. Di mana kemenangan sebuah partai di tentukan oleh figur figur yang bertarung di setiap dapil. Kader kader PKBIB rata rata adalah wajah baru yang belum memiliki cacat politik. Ini modal utama untuk ikut berkiprah di tempat yang baru. Pun juga, loyalis Gus Dur sepanjang yang saya tahu adalah tipe pemilih yang walaupun fanatis tapi tetap rasional. Kalau di rasa bagus, mereka akan memilih, apapun partainya.

Dulu, ketika sebagian besar ulama dan warga Nahdliyin menganggap bahwa PPP adalah satu satunya partai yang mewakili kepentingan mereka, Gus Dur bikin ulah dengan membawa Tutut yang notabene kader Golkar jalan jalan ke pesantren. Langkah ini banyak di kecam. Bahkan tidak sedikit ulama yang kemudian memusuhi Gus Dur. Tapi apa yang di hasilkan di kemudian hari ?. Warga NU mendapat pelajaran penting dalam hal demokrasi. Bahwa berbeda pilihan itu sesuatu yang biasa.

Di tahun 80an, ketika semua elemen elemen Islam bersatu padu menolak asas tunggal, NU membuat gebrakan kontroversial dengan mengakui Pancasila. Langkah ini tentu saja di kecam oleh kalangan muslim. Karena di anggap keluar dari semangat politik Islam. Namun apa yang terjadi puluhan tahun kemudian ?. Ketika konflik sektarian tak henti hentinya mendera negeri ini, rakyat mulai sadar bahwa mereka butuh sesuatu yang bisa menjadi pijakan bersama. Yang bisa menaungi keanekaragaman yang ada di masyarakat.

"Di medan perang, anda hanya akan mati sekali dan tak bisa hidup lagi. Tapi dalam politik, anda bisa berkali kali mati dan hidup lagi"

Selamat 'bergabung' di rumah baru. Semoga tidak malu maluin....

Jakarta, April 2013
oleh : Dhan Gubrack

 SBY menjadi saksi pernikahan Dhohir Farizi dan Yenny Wahid (pict : www.presidenri.go.id)

Tidak ada komentar