NYANYIAN LIRIH LELA
Dulu, aku pikir pacaran jarak dekat itu menyebalkan. Tak ada rindu
yang menggebu. Sebab setiap saat ada kemauan untuk bertemu hampir selalu
terlaksana. Tidak ada yang mengejutkan. Karena perubahan sekecil apapun
yang ada dalam diriku dan dirinya akan terpantau. Dan yang paling
penting tentu saja situasinya yang selalu hambar dari waktu ke waktu.
Aku yakin semua wanita memiliki pikiran yang sama. Bukan sekedar senang
di hibur dengan rayuan rayuan yang kadang menjemukan, tapi juga senang
di pameri tindakan tindakan heroik yang bikin jantung selalu dag dig
dug.Dan itu semua jarang aku rasakan ketika menjalin hubungan dalam
jarak dekat.
![]() |
Lela |
Satu satunya sensasi pacaran jarak dekat
hanyalah status antara kami yang lumayan jomplang. Aku berposisi sebagai
pembantu rumah tangga, dia sebagai sekretaris pribadi. Aku selalu di
belakang mengurusi dapur, sumur dan segala hal yang jamaknya di lakukan
perempuan. Dia bertugas di depan, tepatnya di gedung perkantoran yang
tak jauh dari rumah majikan. Duduk di depan laptop, mencatat apa apa
yang perlu di catat dan sebagainya. Area yang aku jelajahi hanya melulu
itu itu saja. Rumah, pasar dan mall. Khusus untuk di luar rumah, sudah
tentu statusku hanya ikut istri boss. Sementara dia jauh lebih bebas.
Maklum, sering banget dia di utus atasan untuk menemui klien di tempat
tempat yang jauh. Dalam hal gaji, jangan di tanya lagi. Gajiku hanya
seperlima dari gajinya.
Kami paling sering bertemu di saat
jam jam makan. Di mana aku di tugasi mengantarkan makanan untuk pegawai
pegawai kantor. Di saat saat itulah kami bisa dengan leluasa memadu
kasih melepas rindu. Sejauh itu, aku melihat dia adalah pribadi yang
baik, ramah, mengayomi lagi matang. Dan yang membuatku selalu merasa
bangga adalah sikapnya yang selalu santai ketika kawan kawannya tahu ia
berpacaran dengan pembantu. Di lihat dari sudut manapun sebenarnya tidak
elok di pandang. Namanya pembantu, lebih pas kalau pacaran sama tukang
kebun, maintenance, office boy atau pekerja kasar lainnya. Bukan dengan
sekretaris atau staf kantor.
Di luar urusan jam makan
kantor, kami juga sering kencan di tempat lain. Terutama ketika aku
dapat jatah libur untuk menjenguk keluarga di kampung. Biasanya dia
terlebih dulu mengajakku jalan jalan ke mall, toko buku, gedung bioskop
dan tempat hiburan lain. Setelah itu ia mengantarku pulang dengan mobil
pribadinya. Menuju rumahku yang jarak perjalanan dari tempat kerja
sekitar 3 jam.
Ada hal yang selalu membuatku merasa begitu
bahagia. Sebelum memasuki wilayah perkampunganku, ia selalu
menghentikan mobil dan meminggirkannya di bawah pohon beringin besar tak
jauh dari tugu batas desa. Di situ kami melakukan ritual unik, yakni
main tebak tebakan. Kami saling berbalas dua pertanyaan di mana siapapun
yang gagal menjawab harus mengucapkan satu janji.
"Kota apa yang selalu diam ?" ucapku melempar teka teki.
Sejenak ia terdiam memeras otak.
"Kota mati !!!" teriaknya yakin.
"Salah...".
"Kok...?" garuk garuk kepala.
"Yang bener, 'Ko tanya aja orang tidur'. Pasti dia akan diam. Hahahaha" sahutku sembari meledakkan tawa lebar.
Biasanya
kalau dia gagal menjawab, tingkahnya seperti anak kecil. Menggerutu,
ngomel ngomel tak karuan dan mencak mencak. Tapi entah mengapa kali ini
dia justru lebih kalem atau tepatnya lebih banyak mempertontonkan mimik
wajah serius.
"Aku janji sama kamu" ucapnya lirih.
Telapak
tangan kanannya meraih pipiku. Membelai permukaannya dengan lembut.
Sementara sorot matanya tak pernah henti menatap ke arahku.
"Aku janji, besok aku akan membawamu ke orangtuaku. Aku akan meminta mereka untuk melamar ke orang tuamu".
Pelan.
Tapi bagiku tak ubahnya sengatan listrik yang merayap di setiap jengkal
kulitku. Jantungku berdebar debar tak karuan. Ada rasa haru, bahagia,
tapi juga sedih. Bercampur aduk jadi satu. Terharu melihat kesungguhan
cintanya. Bahagia, sebab itulah momen yang paling membuat wanita merasa
di cintai. Tapi juga sedih. Sedih menyaksikan kenyataan bahwa antara aku
dan dia terdapat perbedaan yang luar biasa besar. Dan kalau tidak bisa
menjembatani, ini akan menjadi masalah. Bukan hanya antara aku dan dia.
Tapi antara keluargaku dan keluarganya.
Dan apa yang
menjadi kekhawatiranku rupanya nyaris menjadi kenyataan. Ketika orang
tuanya tahu status ekonomi keluargaku, sikap mereka terlihat kurang
respek. Di depanku, ibunya bahkan dengan entengnya mengungkapkan
keinginan agar anaknya mendapat pasangan yang baik dan setara. Walau di
balut dengan bahasa yang di perhalus, tapi aku tetap merasakan sikap
diskriminatif sang ibu.
"Status sosial pasangan menurutku nggak penting penting amat, ma" kata Aji, pacarku membela.
"Toh, yang akan jadi nahkodanya tetap Aji khan ?".
Sang
ibu terlihat tenang menanggapi anaknya. Entah apa yang ada di pikiran
wanita berusia empat puluh tahun itu. Tapi ungkapan selanjutnya yang
meluncur dari bibirnya benar benar membuatku berada dalam posisi sulit.
"Mama tidak mempersoalkan status sosial. Mama hanya ingin ada kesetaraan" ucapnya sangat tenang.
"Suami
istri itu ibarat kaki kanan dan kiri. Harus berjalan seiring. Senasib
sepenanggungan. Bukan saling menyusahkan atau malah membebani".
"Dalam penghasilan, setidaknya jangan terpaut jauh begitu. Biar kalau ada beban, di selesaikan berdua secara adil".
Deg !!!
Jadi urusan penghasilan ?
"Tenang,
Lela" seraya menatapku, "tante nggak akan melihat status orangtuamu.
Tapi tolong di fikirkan saran tante. Biar ke depannya sama sama enak.
Kalau
di fikir masak masak, permintaan mama Aji sangat bisa di nalar. Memang
tidak adil juga ketika aku datang dari kasta orang susah, tapi justru
dalam hal lain cenderung hanya menambah beban. Setidaknya harus ada
kredit poin yang membuatku bisa di hargai oleh semu pihak. Masalahnya,
dengan cara apa aku mendapatkan penghasilan yang setara dengan Aji ?.
Gaji
pembantu di tempat kerjaku sudah terhitung paling tinggi. Sepertinya
tidak ada yang lebih tinggi lagi dari itu. Dan kalaupun majikan
menaikkan gajiku, tetap saja tak mungkin menyamai gaji Aji. Kalau gajiku
naik, Aji sudah pasti gajinya juga naik. Di atap yang sama, pembantu
tetap saja bergaji paling rendah.
Pekerjaan lain ?.
Aku
tak memiliki ijazah yang bisa di banggakan. Hanya lulusan SMP. Beda
dengan Aji yang memang jebolan S2. Jadi kalau pindah pekerjaanpun tak
akan banyak merubah keadaan. Kalaupun terpaksa harus berwiraswasta, tak
ada jaminan aku bisa. Selain tidak ada modal, aku juga tidak punya
pengalaman lain selain jadi pembantu.
Seminggu lebih aku
berfikir keras mencari jalan keluar. Di sana sini tetap saja tembok
tebal yang sulit aku robohkan. Sempat pula terfikir untuk mengakhiri
saja hubungan ini. Tapi Aji tidak ingin begitu saja membiarkanku
menyerah. Dia terus mensupportku sembari mencari cari celah.
"Waktu kita masih banyak" hibur Aji, "aku akan terus menunggu hingga mamaku berubah pikiran".
"Emangnya dia mau, anaknya nggak kawin kawin ?".
Sikap
Aji jelas membuat perasaanku sedikit lega. Namun tidak serta merta
menghentikan keruwetan yang menghantui pikiranku. Asmara bisa di tunda,
tapi jalan menuju ke sana tetap harus di bangun dengan kokoh. Itu kalau
aku masih menginginkan hidup bersama Aji, pujaan hatiku.
Hingga
suatu ketika, mbak Yenny, anak majikan yang selama ini seringkali
menjadi kawan berbagi cerita memaparkan solusinya untukku.
"Kalau mau salarynya tinggi, ya harus berani ambil resiko dong Lela" katanya.
"Resiko gimana, mbak ?" aku berbalik tanya.
Maklum,
lulusan SMP sepertiku seringkali tak pernah nyambung dengan pikiran
pikiran mereka yang berpendidikan tinggi semacam mbak Yenny.
"Kalau Lela mau, kerja saja di luar negeri. Di sana gaji pembantu setara dengan pegawai di kantor papa loh".
"Oh ya ?" setengah tidak percaya.
"Yap !" sambarnya.
"Aku
punya banyak teman yang bekerja di agen TKW. Kalau Lela setuju, aku
akan perjuangkan sampai berangkat. Nggak usah mikir biaya. Ntar aku yang
bantu" lanjut mbak Yenny menawarkan bantuan.
"Aji banyak cerita soal kamu sama aku. Yahh... cinta memang harus di perjuangkan. Aku dukung kalian" pungkasnya.
Apa
yang di ucapkan oleh mbak Yenny ternyata benar benar ia laksanakan.
Dengan berbekal pengaruh pertemanannya dengan agen agen pengerah tenaga
kerja, kurang dari sebulan setelah sebelumnya menjalani pelatihan, aku
berangkat kerja jadi pembantu di Hongkong. Benar kata mbak Yenny, gaji
kerja di sana jauh lebih tinggi dari gaji pembantu di Indonesia. Jenis
pekerjaanpun tidak sekomplek pembantu pembantu di Indonesia. Pekerjaanku
hanya mengasuh anak majikan. Itu saja. Selebihnya di lakukan oleh
pegawai lain.
Walau jauh di mata, hubungan asmaraku dengan
Aji tetap berjalan sebagaimana mestinya. Jika biasanya kami bisa
bertemu setiap saat, kali ini hanya bisa melalui handphone maupun media
jejaring sosial. Memang, aku tak lagi bisa melingkari perutnya,
menyandarkan kepala di pundaknya dan mencubit lengan kokohnya. Tapi aku
sangat menikmati hubungan jarak jauh ini. Buat apa selalu berdekatan
secara fisik jika itu tak bisa merubah nasib kita di masa depan. Lebih
baik jauh berjarak namun hikmah yang bisa di gapai.
Dua
tahun bekerja di Hongkong, aku sukses mengumpulkan pundi pundi uang. Dan
atas bantuan Aji dan mbak Yenny, uangku di investasikan untuk membeli
properti berupa rumah di lokasi strategis dekat kawasan industri.
Walaupun kecil, tapi cukup memberi penghasilan tambahan karena rumah itu
di kontrakkan oleh Aji. Posisi ekonomi yang lumayan membaik ini serta
merta merubah prasangka keluarga Aji.
Ketika aku pulang ke
Indonesia setelah dua tahun bekerja di luar negeri, ibunya Aji terlihat
berbeda. Apalagi ketika aku membawakan oleh oleh spesial dari luar
negeri untuknya. Ia terlihat sangat bahagia sekali. Bahkan dengan tanpa
malu, beliau malah berharap aku membawakan oleh oleh jenis lain yang tak
kalah menariknya. Repot juga menghadapi calon mertua. Tapi demi
kebahagiaanku sendiri, apapun tidak masalah di korbankan.
Tahun
berikutnya aku kembali berangkat ke luar negeri. Kali ini bukan di
Hongkong. Mbak Yenny merekomendasikanku bekerja di Jepang. Di banding
dengan yang lama, di tempat kerja yang baru ini gajinya lebih tinggi.
Bahkan sudah hampir menyamai Aji yang di promosikan sebagai manajer di
perusahaan. Padahal aku cuma pembantu.
Dan seperti dua
tahun pertama, kali ini uangku lagi lagi di kelola oleh Aji. Dia
menginvestasikan jerih payahku untuk membeli lagi rumah kontrakan di
dekat kawasan industri. Setidaknya menjelang akhir kontrak kerja, aku
sudah memiliki kontrakan tiga pintu dengan pemasukan bulanan lumayan
besar. Untuk jerih payahnya ini Aji tak pernah minta bayaran dariku.
Uang hasil sewa di masukkan utuh ke rekeningku tanpa di ambil
sedikitpun.
Dear Aji,
Sebentar lagi kontrak kerjaku selesai
Kalau kamu menginginkan aku melanjutkan lagi
Aku akan sangat senang sekali melakukannya
Tapi jika kamu memiliki rencana lain
Aku tak akan berani menolaknya
Tulisan
itu aku kirim via BBM seminggu sebelum kontrak kerjaku selesai. Aku
merasa perlu menanyakan itu ke Aji karena majikan meminta ketegasanku.
Apakah akan kembali bekerja setelah cuti ataukah cukup dua tahun itu
saja. Kalau aku pribadi inginnya Aji segera melamarku, lalu kami membina
keluarga bahagia bersama. Apalagi dari segi umur, aku dan Aji sudah
cukup layak. Aku 25 tahun, Aji lebih tua dua tahun dariku. Selain
keluarga Aji sudah mulai tidak mempermasalahkan status sosialku, terlalu
lama menunda pernikahan juga kurang baik.
Tapi entah
mengapa, justru sejak itu Aji malah tak pernah menjawab pesanku. BBnya
hilang kontak, nomer ponsel yang biasa kita pakai untuk bertegur sapa
juga tidak aktif. Akun akun di jejaring sosial milik Aji entah mengapa
juga mendadak hilang. Ketika aku menelpon nomer mama Aji, sekalipun
tidak ada yang mau mengangkat. Bukan apa apa. Aku hanya ingin Aji
mengetahui permasalahanku dan membantuku membuat keputusan yang tepat.
Keesokan
harinya aku berusaha menghubungi lagi Aji dan mamanya. Tapi lagi lagi
gagal. Hingga hari terakhir masa kerjaku selesai aku tetap gagal
menghubungi mereka. Pikiran pikiran negatifpun satu persatu memenuhi
otakku.
Ada apa denganmu, Aji ?
Apakah aku telah berbuat salah kepadamu ?
Ataukah sesuatu telah terjadi padamu ?
Kalaupun aku yang salah, harusnya bukan begitu caranya
Cukup kamu katakan apa salahku, dan aku janji akan memperbaikinya
Atau jika ada sesuatu yang terjadi padamu
Kamu tak perlu bersembunyi dariku, kan ?
Dan
entah berapa banyak lagi pertanyaan demi pertanyaan yang aku sendiri
tak paham jawabannya apa. Hingga ketika sebuah nada dering menyalak dari
handphoneku, segalanya menjadi tampak jelas...
"Aku tahu,
kamu begitu mencintai Aji. Aku juga kagum dengan kegigihanmu
memperjuangkan cinta sucimu. Tapi, kamu wanita, aku juga wanita. Kita
memiliki hak yang sama dalam menentukan nasib. Kita memiliki kesempatan
yang sama untuk memperjuangkan apa yang kita inginkan. Aku mencintai
kekasihmu, seperti halnya kamu mencintainya. Tapi ketika Tuhan lebih
memberiku kesempatan untuk mengambilnya, ku harap kamu bisa memahami ini
semua"
Di layar handphone terbaca jelas sebuah nama. Yang aku sangat mengenalnya. #Yenny.
Oleh : Komandan Gubrak
Tidak ada komentar