Siapa Bilang Pacaran Itu Haram ?
Pernahkah kita mendengar ungkapan ini :
"Pacaran itu haram hukumnya"
"Indahnya Pacaran setelah menikah"
"Lebih baik Ta'aruf daripada Pacaran"
![]() |
Pict : www.lintas.me |
Dan
banyak lagi ungkapan yang intinya mengkritik budaya 'Pacaran'. Para
pengkritik pacaran menilai bahwa budaya ini tidak sesuai dengan norma
dan hukum keagamaan, sebab di dalamnya berpotensi mengantarkan pelakunya
pada perilaku zina. Pacaran dianggap sebagai budaya asing yang
cenderung liberal, kebarat - baratan dan yang lebih parah lagi dicap
sebagai budaya kafir. Oleh sebab itu, disetiap mimbar pertemuan, di
majlis majlis taklim dan di ruang publik, para pemuka agama merasa perlu
untuk mewanti wanti umat terutama kaum muda untuk meninggalkan apa yang
disebut pacaran.
Tulisan ini sengaja kami buat bukan
untuk melawan pendapat pendapat di atas. Akan tetapi sekedar meluruskan
persepsi akan sebuah tradisi. Tradisi yang telah ada dan terjadi sejak
lama, namun mulai kehilangan maknanya akibat pemahaman yang salah
kaprah. Baik pemahaman para cerdik pandai maupun pemahaman kaum awam.
Apa itu Pacaran ?
Sebelum
menghukumi budaya pacaran, ada baiknya kita menelusuri lebih jauh apa
itu pacaran. Apakah itu hanya ungkapan modern yang tidak punya akar
sejarah ataukah kebudayaan yang memiliki sisi historis dan mengandung
nilai nilai positif.
Menurut banyak sumber, 'Pacaran' adalah kata
kerja yang dibentuk dari kata benda 'Pacar'. Kata Pacar sendiri merujuk
pada sebuah tanaman hias (Pacar Kuku) yang sudah sejak lama
dimanfaatkan secara turun temurun untuk kepentingan kesehatan,
kecantikan atau sekedar tanaman hias semata.
Pacar kuku
banyak ditanam sebagai tanaman hias, karena bunganya berbunga sepanjang
tahun, maka seringpula digunakan dalam wangi-wangian. Pacar kuku di
Indonesia juga paling dikenal sebagai pemerah kuku tradisional dengan
cara menumbuk daun dengan kapur atau gambir untuk mewarnai merah kuku.
Tidak hanya itu, dalam bentuk kering, apabila daunnya ditumbuk dengan
air, maka dapat digunakan untuk mewarnai rambut. Daun pacar kuku
mengandung zat warna lawson yang dapat diekstrak sebagai kristal
berwarna kungin jingga, digunakan untuk mewarnai wol dan sutera. Daun
mengandung tanin (± 4,5 %), digunakan untuk obat penghenti diare ;
serbuk daun digunakan untuk obat luka. Bunga mengandung minyak atsiri
yang berbau seperti trimetil amina, digunakan dalam kosmetika. Biji
mengandung minyak (10,5%). Kayu kelabu, keras, digunakan untuk membuat
barang-barang kecil dan tusuk gigi (sumber, wikipedia)
Dalam
bahasa latin, Pacar disebut Lawsonia Inermis. Orang orang semenanjung
Arab, Afrika dan beberapa negara di Asia menyebut tanaman ini dengan
sebutan Henna (Daun Henna). Di berbagai belahan dunia, daun Pacar
dimanfaatkan untuk bahan baku produk kecantikan. Terutama untuk mewarnai
kuku dan rambut, serta mentato kulit.
Seni menghias diri
dengan daun pacar ini sudah ada sejak dahulu kala. Dalam tradisi adat
Betawi, daun Pacar seringkali digunakan untuk menghias tangan dan kaki
mempelai wanita pada malam sebelum akad nikah. Tradisi ini seringkali
disebut tradisi Malam Pacar. Di Bima, tradisi serupa disebut Peta
Kapanca. Orang Aceh menyebutnya Malam Bohgaca atau Malam Berinai. Dalam
tradisi Padang disebut Malam Bainai. Di Lampung ada Pasang Pacar, Bugis
ada Mapacca, Riau ada Berinai, sementara orang Palembang menyebutnya
sebagai tradisi Berpacar. Dalam tradisi adat perkawinan di Timur Tengah,
penggunaan Pacar atau Henna bagi calon mempelai wanita juga menjadi
sesuatu yang lumrah. Selain sebagai penghias diri, tato Henna dipercaya
dapat menghindarkan dari segala marabahaya.
Penggunaan
daun pacar yang seringkali terkait dengan ritual pernikahan inilah
kemudian memunculkan istilah Pacaran. Pacaran adalah ritual menghias
diri bagi pasangan yang saling mencinta untuk bersiap menuju jenjang
pernikahan. Inilah yang menurut penulis perlu diluruskan. Agar kita
tidak secara gegabah menghukumi sebuah tradisi secara semena mena.
Apakah Islam membolehkan Pacaran ?
Sebelum
kita menghukumi Pacaran, mari kita tengok sejenak beberapa kutipan
hadist nabi yang berkaitan dengan budaya memakai Pacar atau Henna.
Dari Aisyah radhiyallahu’anhaberkata
bahwasanya seorang wanita mengacungkan tangan dari balik tabir, sedang
ditangan wanita itu ada selembar kertas bertuliskan “Kepada Rasulullah
shallallahu’alaihi wa sallam” lalu Rasulullah mengepalkan
tangan beliau dan bersabda, “Aku tidak tahu, tangan seorang lelakikah
atau tangan seorang perempuan?” Wanita itu menjawab, “Tangan seorang
perempuan”, lalu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
“Andaikan kamu perempuan, tentu kamu hiasi kukumu” (HR Abu Dawud dan An
Nasai)
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, dia menceritakan :
“Istri-istri
kami memakai pacar pada malam hari, apabila pagi tiba mereka
melepasnya, kemudian berwudlu dan mengerjakan shalat. Setelah shalat
mereka memakai pacar lagi dan apabila tiba waktu dzuhur mereka
melepasnya, lalu berwudlu’ dan mengerjakan shalat. Hal itu dilakukannya
dengan sebaik-baiknya dan tidak menghalangi mereka dari shalat.”
[Hadits sanad shahih, diriwayatkan oleh Imam Al-Darimi (1093)]
Dari Mu’adzah:
Ada
seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Apakah
wanita yang sedang haid boleh memakai pacar?” Aisyah menjawab: Pada
saat sedang disisi nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami memakai
pacar pada kuku, dan beliau tidak melarang kami melakukan hal itu”.
[Hadits sanad shahih, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah (656)]
Dari
beberapa hadits di atas jelas sekali menunjukkan bahwa tidak ada
larangan bagi umat Islam untuk Pacaran (memakai daun Pacar). Memang, ada
beberapa perbedaan pendapat antar ulama fikih, tapi itu mengenai hal
hal yang khusus. Misalnya bentuk hiasan, tempat dan juga bahan baku.
Secara umum menggunakan Pacar atau Pacaran di bolehkan. Berhenna atau
Pacaran adalah bentuk merias diri. Yang tujuannya adalah menyenangkan
pasangan. Begitupun ketika calon mempelai menghias diri menjelang
pernikahan, boleh boleh saja. Bahkan tidak sedikit ulama yang mengatakan
berhias itu sunnah.
Asma' binti Yazid radhiyallahu 'anha meriwayatkan sebagai berikut;
Aku
menghias 'Aisyah untuk Rasulullah Saw, lalu aku datang kepadanya.
Kemudian aku memanggil Rasul supaya datang menghampiri 'Aisyah. Rasul
datang dan duduk di sampingnya. Kemudian didatangkan segelas besar susu.
Rasulullah Saw meminumnya, lalu memberikan susu itu kepada 'Aisyah.
Ketika itu 'Aisyah terlihat menundukkan kepalanya dan merasa malu. Asma
berkata; aku menyeru kepada 'Aisyah, "Terimalah dari tangan Nabi Saw."
Asma berkata lagi; "Lalu ia ('Aisyah) menerima susu itu dan meminumnya
sedikit." Kemudian Nabi Saw bersabda kepadanya; "Berilah temanmu itu."
(HR Ahmad).
Hadits ini menjelaskan bahwa Aisyahpun di hias secantik mungkin sebelum dinikahi oleh rasulullah SAW.
Jadi, masih mengharamkan pacaran ?
(di ramu dari berbagai sumber)
Oleh : Komandan Gubrak
silahkan sandingkan definisi PACARAN dan memakai HIASAN KUKU/PACAR
BalasHapusTulisan di atas menjelaskan definisi pacar yang dimaksud yang mana.
Setuju memakai hiasan kuku buat perempuan (PACAR) itu hukumnya halal.
Silahkan disusun kembali alur berfikirnya.
Tulisan diatas adalah pelurusan sejarah. Bahwa kata PACARAN sebenarnya merujuk pada tradisi berpacar (memakai pacar) yang dilakukan calon pengantin. Istilah ini lambat laun dibelokkan, bahwa semua pasangan yang saling mencintai disebut pacaran, walaupun belum melaksanakan ritual pranikah (memakai pacar) tersebut.
BalasHapus