perempuan yang menyulam di Beranda
sendiri, seperti udara yang kubayangkan mengapung Diam
di bawah bohlam yang pendar cahyanya gagal
menjangkau ujung bilahbilah besi pagar, dingin, bercat hitam
: ia menyulam
barangkali sembari membayangkan
ada yang duduk di sampingnya, merokok,
meski padahal bahkan secangkir kopi pun tak mau menyintuh ingatan
benang itu, merah, seperti marah. menjadi warna dedaun.
coklat itu, pucat, seperti jerat. menjadi warna bunga entah apa.
seekor burung, atau sebenarnya kadal bersayap, terbang.
meninggalkan jejak kelabu, begitu tua dan tak berdaya,
di helai kain putih yang selalu ia yakini berwarna oranye.
"siasia dan kacau," begitu, mungkin bisiknya, ketika menghela napas.
di sini, pada jarak sejauh antara sumsum dan degab jantung,
aku ingat pernah mencintainya ~dan masih Ingin mengasihinya,
meski tapi tak bisa.
"kalau begitu, tetaplah rindukan ia," bisik satu dari semilyar sel kelabu
dalam benak. aku tersenyum, menggeleng, berkata, "untuk apa?
lihatlah, ia selalu purapura tak lagi pernah kangen padaku."
lalu, seperti sepi, gugus mega mencadari purnama.
segala, dengan Sedih, berkemas tidur.
meski padahal hari belum malam betul
......
tinggal dia
menyulam
di beranda
purapura masih Punya cinta
......
di bawah bohlam yang pendar cahyanya gagal
menjangkau ujung bilahbilah besi pagar, dingin, bercat hitam
: ia menyulam
barangkali sembari membayangkan
ada yang duduk di sampingnya, merokok,
meski padahal bahkan secangkir kopi pun tak mau menyintuh ingatan
benang itu, merah, seperti marah. menjadi warna dedaun.
coklat itu, pucat, seperti jerat. menjadi warna bunga entah apa.
seekor burung, atau sebenarnya kadal bersayap, terbang.
meninggalkan jejak kelabu, begitu tua dan tak berdaya,
di helai kain putih yang selalu ia yakini berwarna oranye.
"siasia dan kacau," begitu, mungkin bisiknya, ketika menghela napas.
di sini, pada jarak sejauh antara sumsum dan degab jantung,
aku ingat pernah mencintainya ~dan masih Ingin mengasihinya,
meski tapi tak bisa.
"kalau begitu, tetaplah rindukan ia," bisik satu dari semilyar sel kelabu
dalam benak. aku tersenyum, menggeleng, berkata, "untuk apa?
lihatlah, ia selalu purapura tak lagi pernah kangen padaku."
lalu, seperti sepi, gugus mega mencadari purnama.
segala, dengan Sedih, berkemas tidur.
meski padahal hari belum malam betul
......
tinggal dia
menyulam
di beranda
purapura masih Punya cinta
......
Tidak ada komentar