Breaking News

Masalah Hindu – Muslim di India dalam Perspektif Islam, Sebuah Pendekatan Kooperatif


Ada pernyataan yang sudah terlalu sering kita dengar tentang masalah ini, yaitu bahwa meskipun telah bertahun tahun merdeka, masalah Hindu – Islam tidak kunjung usai juga, bahkan semakin memburuk. Ada banyak faktor yang terlibat di dalamnya, politik, ekonomi dan sosio – ekonomi sekaligus. Orang hanya bisa mengeluh karena persoalan politik di negaranya ini semakin merambah kemana mana. Juga, masalah sosio – ekonomi dan lambatnya pembangunan semakin merenggangkan jarak antara kasta – kasta dan kelompok masyarakat yang berbeda – beda. Masalah masalah komunal dan kasta makin lama makin keruh.

Dalam kondisi seperti ini, para politisi dan pelaku ekonomi serta pencari kerja menjadikan agama sebagai tambatan terakhir, dan seolah – olah agama sebagai sumber kejahatan dan perseteruan, padahal sebenarnya tidak demikian. Akan tetapi, karena hal tersebut sudah menjadi persepsi umum, dan persepsi inilah yang sesungguhnya menjadi persoalan, maka kita perlu membicarakan faktor agama ini dan menciptakan semangat kooperatif yang positif bagi kedua komunitas agama di India, yakni umat Hindu dan Muslim. Pada bab ini kita terutama akan membahas faktor agama yang terlibat masalah Hindu – Muslim dan melihatnya dari perspektif Islam.

Islam telah betul – betul disalahpahami oleh kedua belah pihak dan kesalahan pemahaman ini yang menjadi penyebab sikap keras kepala dan fanatisme. Islam dipahami sebagai tidak memberi toleransi kepada pemeluk agama lain, khususnya umat Hindu, dan penganutnya dianggap ekspansionis yang agresif. Secara sosiologis dan psikologis, dalam membicarakan perbedaan pendapat, sistem berfikir atau sistem ideologi yang terjadi dalam situasi konflik, setiap pendapat yang mengemuka selalu dicurigai. Islam dan Hindu, pada tataran politik, saling bermusuhan; masing – masing berusaha mencuri kesempatan politik yang tentu saja merugikan rivalnya, dan oleh karenanya, prasangka elit politik dari kedua belah pihak semakin berkembang (meskipun harus diakui, pada tingkat tertentu terjadi kolaborasi politik diantara sebagian kecil kedua elit politik). Sementara di tingkat bawah, orang – orang sufi dan masa Islam tidak begitu menjadi persoalan dan tidak memiliki rasa dendam. Kita akan membicarakan ini di kesempatan lain.

Pertama – tama, kita akan mengupas ajaran – ajaran Islam untuk melihat apakah Islam mengakui pluralisme agama atau tidak, apakah menganggapnya sebagai potensi untuk menjalani hidup secara damai dengan pemeluk agama lain, atau tidak. Kitab Suci Al-Qur’an secara empati menyebutkan, “Untuk tiap – tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba lombalah berbuat kebajikan”.

Tidak seorangpun meragukan ayat ini, bahwa Islam mengakui pluralisme dan tidak ingin menjadikan seluruh umat manusia ber-agama Islam. Dengan jelas dikatakan bahwa “Untuk tiap – tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang,” dan bahwa, “sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), “namun Dia tidak menghendaki, Dia ingin tahu apakah manusia dapat hidup dengan damai dalam pluralitas agama dan keyakinan, dan bahwa kita seharusnya dapat hidup dalam harmoni dan saling berlomba – lomba dalam kebaikan.

Kitab Suci Al-Qur’an juga berulangkali menyatakan, “Bagi tiap – tiap umat telah Kami tetapkan syariat tertentu yang mereka amalkan, maka janganlah sekali – kali mereka membantah kamu dalam urusan (syariat) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar – benar berada pada jalan yang lurus.” Di lain ayat disebutkan, “Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah dikaruniakan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu adalah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk (kepada Allah).” Dan di ayat lain tema ini diulanginya lagi, “Dan tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepada-Nya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Dimana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Juga dalam sebuah surat yang turun di Mekah, Al-Qur’an mengatakannnya :

“Katakanlah : Hai orang-orang kafir
Aku tidak menyembah apa yang kamu sembah
Dan kamu tidak menyembah yang aku sembah
Dan aku tidak akan menyembah apa yang telah kamu sembah
Dan kamu tidak akan menyembah apa yang aku sembah,
Bagimu agamamu dan bagiku agamaku

Kita dapat menemukan banyak sekali ayat Al-Qur’an yang sama sekali tidak mengijinkan adanya paksaan dalam agama. “Tidak ada paksaan dalam agama,” kata Al-Qur’an tanpa ragu ragu.

Islam juga dikira menyuruh umatnya untuk merobohkan tempat-tempat ibadah agama lain dan kemudian menggantikannya dengan masjid. Barangkali beberapa orang yang kurang pengetahuannya, meyakini pernyataan tersebut. Padahal Al-Qur’an justru mengajarkan yang sebaliknya, “Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, sinagog-sinagog orang Yahudi dan masjid-masjid yang di dalamnya banyak disebut nama Allah.”.

Dari ayat tersebut, jelaslah bahwa nama Allah disebut di dalam masjid masjid, sinagog atau gereja dan bahwa Allah melindungi tempat-tempat ibadah dengan menhalangi sebagian orang terhadap sebagian yang lain, yakni mereka yang tidak melindungi tempat-tempat ibadah dihalau oleh Allah melalui tangan orang-orang yang melindunginya. Sangat jelas Allah melindungi tempat-tempat ibadah itu, dan Dia tidak menghendaki adanya perusakan. Kaum Muslim yang merusak atau setuju dengan perusakan tempat-tempat ibadah benar-benar bertindak melawan ajaran Al-Qur’an. Allah akan menghalau mereka dan menghukumnya, karena nama-Nya banyak disebut di dalamnya.

Khalifah Hazrat Umar tidak melakukan shalat di dalam gereja di Palestina, ketika dia singgah di kota tersebut, dengan alasan yang bisa tertentu. Ketika Uskup Agung Palestina menanyakan alasannya, Khalifah menjawab bahwa dia khawatir nantinya kaum Muslim akan mewajibkan perbuatan yang dilakukan Khalifahnya ini. Umar mencegah agar gereja tidak diklaim kaum Muslim sebagai pengganti masjid. Al- Qur’an dan Khalifah menentang perusakan tempat-tempat ibadah agama apa pun. Namun demikian, harus diketahui bahwa namanya praksis itu tidak pernah sama dengan idealitasnya. Karena dendam politik, kaum Muslim bukan hanya menghancurkan tempat-tempat ibadah agama lain, namun juga merusak tempat ibadahnya sendiri yang paling suci, yakni Ka’bah. Pada permulaan sejarah Islam, pasukan Umayyah Khalifah Yazid membakar Ka’bah, sama seperti yang telah dilakukan oleh saingan politiknya, Abdullah bin Zubayr. (Namun demikian, Tabari mengatakan bahwa kebakaran itu merupakan kecelakaan). Apapun kejadiannya, yang jelas waktu itu Ka’bah dikelilingi oleh pasukan Yazid yang sedang bertempur.

Beberapa orang juga meyakini bahwa Islam akan memotong kepala orang  yang tidak percaya kepada Islam. Keyakinan itu tentu saja tidak benar, dan ayat-ayat di atas telah membantahnya. Jika dalam agama saja tidak ada paksaan, bagaimana mungkin meng-islamkan orang lain dengan pedang ? Penyebabnya adalah kata kafir telah jauh disalahpahami, sehingga perlu diteropong dari perspektif yang tepat. ‘Kafir’ secara literal bermakna ‘orang yang tidak percaya’. Dengan kata lain, orang yang tidak percaya pada kebenaran yang diwahyukan Allah adalah kafir. Namun perlu dicatat, Al-Qur’an menyatakan bahwa semua yang diwahyukan kepada nabi-nabi selain Muhammad, juga berasal dari Allah dan bahwa Allah telah mengutus nabi-nabi kepada berbagai bangsa dengan bahasa mereka masing-masing. “Tiap-tiap umat mempunyai rasul; maka apabila telah datang rasul kepada mereka, diberikanlah keputusan di antara mereka dengan adil dan mereka (sedikitpun) tidak dianiaya.”

Nabi-nabi diutus kepada setiap umat dengan tujuan utama mengajarkan keadilan, sehingga mereka tidak melakukan kejahatan. Oleh karena itu, siapa saja yang percaya kepada nabi-nabi utusan Tuhan tersebut dan patuh kepada norma-norma keadilan, adalah termasuk orang-orang yang percaya (beriman). Al-Qur’an bukan saja menyuruh percaya kepada semua nabi, namun juga menghargainya dengan adil tanpa membedakan salah satunya. “Kami tidak membeda-bedakan di antara salah satu (dengan yang lain) dari rasul rasul-Nya, kata Al-Qur’an. Al-Qur’an juga memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk menerima semua nabi-Nya yang hidup di masa lampau yang diutus untuk berbagai bangsa, tanpa membeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud membedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir kepada sebagian lainnya’, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman dan kafir), merekalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya...”.

Jadi orang-orang yang benar-benar kafir (kaffirun haqqan) adalah mereka yang tidak menerima semua nabi yang diutus oleh Tuhan dan membeda-bedakan di antara mereka. Perlu diperhatikan bahwa tidak semua nabi tercatat di dalam Al-Qur’an, “Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu.” Berdasarkan  ayat-ayat yang telah disinggung di atas dan ayat-ayat lainnya, beberapa sufi seperti Abdur Rahim Jan-i-Janan menyimpulkan bahwa Tuhan telah mengirim nabi-nabi kepada orang-orang Hindu juga, dan Tuhan tidak membeda-bedakan sejak dari Brahma sampai Adam, dan dia menganggap Veda sebagai Kitab Suci. Oleh karena itu, tidaklah sesuai dengan Al-Qur’an, jika menyebut orang-orang Hindu sebagai orang kafir sebagaimana yang sering dilakukan oleh beberapa orang Muslim yang sektarian.

Para ulama tidak pernah bersuara bulat untuk mengkafirkan orang-orang Hindu. Nabi sendiri ketika mengadakan perjanjian dengan orang-orang Parsi di Bahrain dan Umman menerima mereka sebagai ahl al-kitab, walaupun mereka tidak disebutkan di dalam Al-Qur’an. Sama halnya dengan Khalifah Hazrat Utsman yang telah menganggap suku-suku Berber dari Afrika Utara sebagai ahl al-kitab, walaupun diragukan apakah semua di antara mereka, atau hanya sebagian. Ketika suku-suku Berber dari Afrika Utara yang digambarkan oleh Ibn Khaldun sebagai orang-orang barbarian dan sangat tidak beradab dianggap sebagai ahl al-kitab, mengapa orang orang Hindu tidak, padahal mereka sangat beradab dan berbudaya dan memiliki filsafat, konsep metafisika dan ilmu fisika yang tinggi ? Sebenarnya bangsa Arab sangat terkesan dengan kemajuan bangsa India ini. Seorang sejarawan terkenal, Masudi, mempunyai pendapat sendiri tentang bangsa India :

Pada zaman lampau ketika bangsa-bangsa lain terpecah-pecah menjadi berbagai suku (atau ketika bangsa lain baru sampai pada tingkat kesukuan), bangsa India telah mengenal gelar kebangsawanan, kejujuran, kebijaksanaan dan berusaha mempersatukan rakyat di bawah pemerintahan pusat. Pertama-tama mereka menetapkan sebuah kekuasaan yang terpusat yang mengatur seluruh rakyat, Mereka menunjuk Brahmana Agung, Pemimpin Tertinggi, sebagai pemegang kekuasaan. Inilah tingkat kehidupan yang banyak memberikan pelajaran. Mereka telah membuat kemajuan di semua bidang kehidupan. Mereka menghasilkan besi dari bahan tambang, meracik karya sastra, membuat senjara, membangun istana, mengkaji masalah akhirat, mempelajari bintang-bintang dan tata surya.

Jahiz, seorang penulis yang sangat berbakat pada masa Abbasiah, memuji bangsa India dan kemajuan yang telah dicapainya. Katanya :

Masyarakat India telah sangat berjasa dalam bidang astrologi dan kesehatan. Mereka mempunyai banyak naskah yang istimewa. Dalam bidang kesehatan, mereka memiliki penemuan yang paling mutakhir saat itu. Mereka memiliki rahasia-rahasia seni yang aneh dari Aesculaplus. Mereka sungguh hebat dalam membuat arca atau patung, gambar yang berwarna, dan arsitektur. Musik mereka juga mempesona. Salah satu musiknya dikenal dengan nama Kanka, yang dimainkan dengan memetik senarnya. Juga tersedia dana untuk orang-orang yang berprestasi dalam berpuisi dan orator. Mereka mengenal seni kesehatan, filsafat dan etika. Buku Khalilah wa Dimnah, yang sekarang kita kenal, berasal dari mereka. Mereka memiliki semangat yang tinggi, common-sense dan watak mulia yang sekarang terdapat pada orang-orang Cina. Kebersihan adalah keistimewaan yang mereka miliki. Wajah mereka bagus-bagus, perawakannya tinggi dan memakai parfum. Parfum yang tiada tandingannya ini berasal dari India yang dipakai oleh raja-raja. Kemudian kemajuan berfikir yang begitu tinggi ini bergerak dari India ke Arab.

Abdul Karim Sharastani, seorang ahli perbandingan agama abad XII, juga mengakui bahwa bangsa India adalah sebuah bangsa dan komunitas (agama) yang besar (ummat-e-kabirah was millat-e-azimah), namun memiliki pandangan dan ideologi yang berbeda-beda.

Kita lihat ternyata para sejarawan Muslim awal, baik yang berkebangsaan Arab maupun bukan, menunjukkan pujian yang tinggi kepada bangsa India dan kemajuan yang dihasilkannya. Mereka memuji agama, metafisikan dan juga etikanya. Mahmud Shabistani, seorang sarjana awal abad XIV dalam bukunya, Gushan-i-Raz membenarkan penyembahan terhadap berhala. Dia mengatakan, “Berhala sembahan adalah ungkapan cinta dan kesatuan dunia, dan memakai benang yang suci berarti mendapatkan pelayanan yang sangat mulia. Ketika kepercayaan kepada Tuhan dan kekafiran, keduanya ada dan hidup berdampingan, maka sebenarnya keesaan Tuhan adalah esensi dari menyembah berhala. Jika seorang muslim mengetahui bagaimana menyembah berhala ini, maka dia tidak akan merasa tersesat atas keyakinannya. Dia tidak akan melihat di dalam berhala itu kecuali penciptaan eksternal (external creation), dan dengan demikian dia menjadi kafir dalam pandangan hukum. Jika kalian tidak melihat realitas yang tersembunyi didalam berhala itu, maka kalian, menurut hukum, juga tidak dapat disebut Muslim.

Khalifah Utsman telah menerima suku Berber dari Afrika Utara sebagai ahl al-kitab yang tidak lebih dari orang-orang Barbar; lantas bagaimana mungkin kita menuduh orang Hindu sebagai kafir dan kemudian menggangu mereka ? Maka tidak ada gunanya ketika Muhammad bin Qasim, seorang yang menentang orang-orang Hindu, ingin menentukan status keagamaan mereka dan menanyakannya kepada para ulama. Para ulama ini tidak membuat keputusan yang bulat, dan mayoritas justru menerima orang-orang Hindu sebagai ahl al-kitab.

Perlu dicatat bahwa sebagian besar sejarawan Arab awal, memuji orang-orang Hindu dan prestasi intelektualnya, sementara itu ulama sekarang malah memusuhi mereka, bahkan mengklaimnya sebagai kafir. Mengapa sampai ada sikap yang berbeda ? Untuk memahami hal ini, kita perlu memahami bahwa sikap kita terhadap orang lain seringkali ditentukan oleh kepentingan kita, baik sosio-ekonomi atau politik. Para sejarawan Arab awal memuji bangsa India dan kemajuan yang telah dihasilkannya, karena mereka mendapatkan sejumlah keuntungan, yakni dapat menjalin kontak dengan bangsa India dan berusaha belajar dari bangsa ini. Para sejarwan itu tingkat intelektualnya lebih rendah daripada orang-orang Hindu India dan makanya memuji-memujinya. Namun demikian, hal ini berbeda dengan ulama sekarang yang telah diandalkan oleh pemuka-pemuka Muslim di Asia Tengah untuk berkompetisi dengan golongan elit Hindu. Semua ini merupakan permusuhan politik yang mengambil bentuk kebencian agama dan banyak ulama yang mengklaim orang-orang Hindu sebagai kafir.

Tidak mengherankan kalau kemudian kaum sufi mengambil sikap yang sama sekali berbeda dengan ulama-ulama tersebut dalam masalah ini. Kaum sufi bukanlah penguasa. Sebaliknya, mereka menjaga jarak dengan kekuasaan dan menenggelamkan diri dengan latihan latihan spiritual. Mereka menemukan kesejajaran antara Islam dan praktik praktik yoga Hindu. Suatu kali Nizamuddin Awliya, seorang sufi besar pada zaman kesultanan, berjalan sepanjang sungai Jamuna dengan muridnya, Amir Khusrau, dia melihat beberapa wanita Hindu sedang mandi dan menyembah matahari. Dia segera berujar haur qaum re dine wa qibla gahe (bagi tiap-tiap umat, ada agama dan cara beribadahnya masing masing). Konsep sufi fana fi Allah juga tampaknya berasal dari konsep Budha, yakni nirvana yang telah terlebih dahulu ada.

Perlu diperhatikan bahwa kaum sufi bahkan tidak segan-segan menggunakan idiom lokal Hindu dalam mengutarakan pendapat dan ajaran-ajarannya. Seorang sufi dari Maharashstra, Syeikh Mohammed, memberi judul buku sufinya Yogasangraha. Dia lebih menggunakan bahasa Maarathi dan istilah-istilah Sansekerta daripada bahasa Arab. Dia menyebut dil dengan anthakaran, jalaliyat, dan tamogun dan kamaliyat untuk sadgun. Dia menggunakan istilah-istilah yang dipakai oleh Patanjali, Shankarcharya dan ahli-ahli Vedanta lainnya.

Syeikh Mohammed tidaklah sendirian dalam menggunakan bahasa dan istilah-istilah tersebut, dan dia bukan perkecualian. Ada sufi-sufi lain yang berpikiran seperti dia. Mereka memang secara tulus tertarik kepada praktek-praktek spiritual. Mereka tahu bentuk luarnya macam-macam, namun isinya sama. Mereka tidak berprasangka buruk terhadap praktek dan idiom agama Hindu. Beberapa sufi dari Gujarat mengatakan bahwa Nabi Muhammad disebut avtara Khrisna, dan kemudian mereka menyusun syair yang berisi demikian. Juga konsep wahdat al-wujud merupakan konsep yang sangat universal yang juga terdapat dalam ajaran panteistik. Seluruh alam ini, menurut konsep tersebut, adalah penciptaan Tuhan dan merefleksikan keagungan-Nya. Maka sesuatu yang aneh, jika dapat bergaul dengan bagian masyarakat yang menganut keyakinan yang sama, dan pada saat bersamaan menolak mereka yang memiliki keyakinan yang berbeda bentuknya (outward belief). Sufi yang menganut paham wahdat al-wujud dapat bergaul dengan semua orang.

<<<Bersambung klik ini >>>

Oleh : Asghar Ali Engineer, Intelektual Muslim asal India

Sumber : Buku ‘Islam dan Teologi Pembebasan’ terbitan Pustaka Pelajar

Tidak ada komentar