Breaking News

Sarjemku Malang, Sarjemku Sayang

“Harusnya kamu nggak ngijinin Sarjem kerja di luar negeri, Di” Suto menasehati.

“Istrimu itu cantik. Wawasannya kurang. Apa nggak gampang tergoda suasana di sana ?” imbuhnya lagi.

Saidi hanya menganggukkan kepala. Apa yang dikatakan pamannya yang juga guru SMA itu memang masuk akal. Tidak usah jauh-jauh, di desa mereka sendiri banyak contoh bagaimana perempuan kampung yang merantau di kota, lalu pulang dengan membawa kebiasaan yang berbeda dari sebelumnya. Kartini misalnya, baru dua tahun kerja di Taiwan, penampilannya kini berubah. Rambutnya yang dulu keriting bak mie goreng, kini lurus mengkilap kecoklatan. Begitu juga dengan Jinem, dulu waktu di desa tak pernah lepas dari jilbab. Kini terlihat lebih tomboy dan gemar memakai rok mini. Sudah begitu, merokok pula.

Tapi itu kan bukan Sarjem...

Saidi membela diri.
Sarjem

Saidi kenal betul siapa Sarjem. Mereka tinggal berdekatan. Teman bermain sejak kecil. Meski hanya lulusan SD, tapi Sarjem adalah pribadi yang tidak neko-neko. Rajin sembahyang, aktif di pengajian-pengajian dan tidak suka hura-hura seperti kebiasaan teman sebayanya. Keluarga Sarjem juga dikenal orang baik – baik. Bapaknya kuli panggul paling rajin di tempat juragan Sarno. Ibunya buruh tani. Begitu juga dengan Saiman. Meski tinggal di lingkungan anak muda yang suka mabuk-mabukan, tapi adik Sarjem itu sama sekali tidak terpengaruh.

Itu semua cukup membuat Saidi merasa tenang melepas Sarjem ke perantauan. Apalagi jauh hari sebelum Sarjem berangkat, Saidi sudah banyak berdiskusi dengan istrinya itu. Keputusan untuk berangkat ke negeri seberang itu tidak muncul secara tiba-tiba. Sebelum punya anakpun Sarjem sudah meminta ijin merantau. Tapi Saidi belum mengijinkan dengan alasan ingin fokus punya anak dulu. Ketika keduanya dikaruniai seorang anak laki-laki, Saidi tetap masih merasa berat melepas Sarjem. Baru ketika anak satu-satunya itu mulai dewasa dan menginjak SMA, Saidi mulai bisa memaklumi.

“Aku nggak ingin Parno seperti kita, mas” ungkap Sarjem.

“Dia harus sekolah tinggi. Agar kelak memiliki nasib yang lebih baik”.

“Aku juga punya pikiran begitu, Jem” sahut Saidi di suatu malam menjelang tidur.

“Makanya itu, ijinin aku ke luar negeri. Itu jalan satu-satunya. Kita nggak mungkin bisa membiayai Parno hingga kuliah kalau pekerjaan kita hanya begini saja”.

“Parno itu pinter sekolahnya. Sayang kalau hanya lulus SMA. Lihat saja anaknya yu Jinah. Dulu  prestasi sekolahnya biasa saja. Tapi demi anak, toh yu Jinah rela merantau untuk membiayai kuliah anak. Sekarang ada hasilnya. Habis kuliah, anaknya diterima kerja di perusahaan besar” rajuk Sarjem.

Motivasi itulah yang menjadi landasan Saidi akhirnya mengijinkan Sarjem pergi ke luar negeri. Apalagi, mumpung waktunya masih panjang. Kalau dipersiapkan sejak awal, tentu lebih baik.

Sementara Sarjem merantau ke luar negeri, Saidi menyibukkan diri kerja sebagai kuli bangunan di kota terdekat. Dan seperti yang di impikan Saidi dan Sarjem, urusan membiayai sekolah anak sudah tidak jadi masalah lagi. Bukan hanya sekedar mampu mengantarkan Parno masuk ke bangku kuliah, akan tetapi kehidupan perekonomian mereka juga meningkat. Dari hasil uang kiriman Sarjem dan jerih payah Saidi jadi kuli, mereka sukses merenovasi rumah. Yang dulunya hanya rumah bambu, kini mereka punya rumah beton.

Tapi namanya harta benda, dimana-mana tetap menjadi penggoda yang menyilaukan. Sudah memiliki rumah, ingin punya kendaraan. Kendaraan di tangan, masih ingin meraih yang lain. Sarjem yang awalnya merantau demi menyekolahkan anak, lambat laun motivasinya berubah. Setelah Parno selesai kuliah dan magang jadi guru, Sarjem mulai mengubah targetnya.

“Kita butuh banyak uang lagi untuk membeli sebidang tanah, mas. Untuk bekal kita berdua di hari tua” begitu Sarjem memberi alasan.
Mengingat hasil dari merantau, Saidipun tanpa banyak berdebat langsung mengiyakan.

“Ini untuk yang terakhir kalinya, lik” kata Saidi menjawab kekhawatiran pamannya itu.

Tapi sepertinya jawaban itu tidak membuat Suto tenang. Pria berusia limapuluh tahun itu menepuk pundak Saidi. Matanya yang tajam tak beranjak memandangi raut muka Saidi yang polos. Ada sesuatu yang hendak ia ungkapkan.

“Kenapa pak lik ?” tanya Saidi kebingungan.

Suto menarik nafas berat. Menatap sekali lagi wajah Saidi, lalu menggelengkan kepala. Seolah ingin mengatakan bahwa tidak terjadi apa-apa. Tapi tingkah Suto itu malah justru memantik rasa penasaran Saidi. Di raihnya pergelangan tangan Suto dan berkata,

“Ada apa dengan Sarjem, paklik ?” desak Saidi dengan raut muka tegang.

Selain dirinya dan Parno, lik Suto adalah orang yang paling sering berhubungan dengan Sarjem di luar negeri. Selain paman kandung dari Sarjem, Sutolah yang selama ini banyak dimintai bantuan keluarga Saidi. Apakah itu mengurus surat tanah, mengurus kuliah sekolah Parno dan urusan-urusan lainnya. Bahkan ketika Parno tidak ada dirumah dan ia ingin bicara dengan Sarjem, kepada Sutolah Saidi meminta bantuan. Maklum, dari dulu Saidi tidak bisa menggunakan alat komunikasi. Bahkan membacapun Saidi tidak bisa.

“Ahh...tidak ada apa-apa kok, Di” hibur Suto.

“Sarjem hanya main facebook aja”.

“Facebook itu apa, pak lik ?” makin tak mengerti.

“Mmmm.... apa ya...” Suto terlihat ragu.

“Hanya mainan handphone. Nggak macem macem kok...”.

“Sudah ya, Di. Aku mau ke sekolah dulu”.

Seolah tidak ingin Saidi bertanya lebih jauh, Suto bergegas pergi. Meninggalkan seribu pertanyaan di benak Saidi.

“Kalau nggak macem-macem, kenapa tadi pak lik menyinggung soal dirinya yang mengijinkan Sarjem merantau ?” Saidi memendam curiga.
Kuli bangunan berusia empatpuluh lima tahun itu terpaku cukup lama seorang diri. Dan baru beranjak dari tempatnya ketika anaknya keluar dari rumah untuk berangkat kerja.

“Parno...” panggilnya.

“Facebook itu apa sih, le ?” tanya Saidi tanpa basa-basi.

Sejenak Parno memicingkan bola matanya. Heran dengan pertanyaan aneh bapaknya.

“Memang ada apa, pak ?. Bapak mau main facebook ?. Khan bapak nggak bisa baca ?”.

“Bukan...”.

“Trus ?”.

“Ibumu...”.

“Kenapa ibu ?” makin tak mengerti.

“Kata mbah Suto” menirukan panggilan Parno pada Suto, “ibumu main facebook, le”.

Parno menyunggingkan senyum.

“Oalah, itu to” katanya menertawakan Saidi.

“Itu tehnologi masa kini, pak”.

“Tehnologi gimana ?” penasaran.

“Yaaa...tehnologi komunikasi. Yang bikin semua orang bisa saling komunikasi, saling kenal dan saling tukar pikiran. Meskipun tinggal berjauhan dan belum kenal sebelumnya”.

“Kayak gimana, No ?” makin penasaran.
Parno menurunkan tas kerjanya. Kalau sudah begini, ia mesti menerangkan secara detail tapi bisa dimengerti oleh bapaknya.

“Itu seperti bapak nelpon ibu saja. Cuma kalau facebook lebih dari itu. Bisa lihat foto, bisa berbalas sms, bisa juga ngobrol video. Dan juga, bisa mencari teman model apa saja dan dimana saja” terang Parno.
Meski belum sepenuhnya paham, tapi Saidi mulai sedikit mencerna. Diam-diam Saidi berusaha menghubung-hubungkan penjelasan Parno dengan perkataan lik Suto tadi pagi.

“Ada apa dengan Sarjem ?”.

Kembali Saidi hanyut dalam lamunan. Selama ini Sarjem tak pernah bicara soal itu dengannya. Meski kalau pulang Sarjem selalu menenteng handphone bagus, tapi yang Parno lihat biasa saja. Handphone itu hanya Sarjem gunakan untuk menelpon. Bukan menelpon orang lain, tapi sanak saudaranya saja. Tidak sekalipun Saidi melihat Sarjem sibuk dengan Hpnya selain daripada itu. Tapi perkataan lik Suto dan Parno hari ini benar-benar membuat Saidi mendadak khawatir.

“Lik Suto main facebook juga ?”.

Sore hari itu juga Saidi menemui Suto.

Suto membelalakkan matanya. Tak menyangka kalau Saidi masih penasaran dengan obrolan mereka tadi pagi.

“Gimana ya ?” masih ragu membuka suara.

“Jujur sajalah, lik” desak Saidi.

Demi melihat raut muka memelas Saidi, akhirnya Suto mengangguk.

“Main bareng Sarjem juga ?”.

Suto menaikkan pundaknya.

“Berhubungan langsung sih nggak, Di”.

“Lalu ?”.

“Aku cuma sekali-kali melihat aktifitas Sarjem di facebook”.

“Sarjem ngapain aja, lik ?”.

“Punya kenalan barukah ?”.

“Bikin foto-foto senonohkah ?” serbu Saidi bertubi-tubi.

Kali ini Suto membelalakkan matanya.

“Pasti Parno yang memberitahu pada Saidi soal apa itu facebook” terka Suto dalam hati.

“Ini hanya dugaan saja loh, Di” mendadak Suto memasang muka serius.

“Aku memang main facebook. Dan berteman sama Sarjem di facebook. Tapi aku nggak pernah menggunakan nama dan foto asli. Makanya kalau nanti kamu tanya Sarjem, pasti dia akan bilang kalau tak melihatku di facebook” jeda sebentar.
Sementara Saidi tampak seksama menyimak keterangan pamannya itu.

“Aku lihat, Sarjem punya kenalan dekat”.

“Laki-laki ?”.

Suto mengangguk.

“Orang mana ?”.

“Sepertinya Jakarta” jawab Suto belum terlalu yakin.

“Gimana hubungan mereka ?. Hanya teman biasa, teman dekat, atau lebih ?” pikiran Saidi mulai teraduk-aduk.

“Mmmm....kalau sekedar teman, Sarjem sering bilang ‘sayang’ sama laki-laki itu”.

“Yang bener, lik ?”.

Suto mengangguk.

Bergetar hati Saidi. Pantas saja tadi pagi lik Suto mengatakan sesuatu yang tidak biasa. Rupanya Sarjem sudah berbuat diluar batas.

“Paklik, aku pinjem handphonenya” pinta Saidi setengah memaksa.

“Buat apa ?”.

“Aku mau meminta penjelasan langsung ke Sarjem” tegasnya.

“Tapi...”.

“Tenang paklik. Aku nggak bakal bawa-bawa nama pak lik” Saidi meyakinkan.

“Ayolah, paklik....” Saidi pucat.

“Baiklah” kata Suto.

Sebuah benda sepanjang sejengkal keluar dari kantong Suto. Setelah Suto mentutul-tutulkan jarinya ke tombol yang ada, benda itu kemudian di serahkan ke Saidi. Tapi, tak lama kemudian Saidi menyerahkan benda itu pada Suto.

“Coba ulang lagi, lik” pintanya tak sabar.

Tanpa banyak bicara Suto kembali mentutulkan jarinya pada tombol handphone. Dan lagi-lagi Saidi harus kecewa karena yang menjawab bukan Sarjem, melainkan operator.

“Telponnya nggak aktif, lik” kata Saidi dengan wajah kesal.

“Coba besok lagi aja, Di” hibur Suto.

Saidi hanya bisa diam. Pikirannya semakin tidak karu-karuan. Wajah Sarjem mendadak hilir mudik di benaknya. Sarjem memang dari dulu dikenal wanita yang cantik. Bahkan waktu masih gadis jadi rebutan para pemuda desa. Setelah merantau dan memiliki uang lebih, penampilan Sarjem jauh lebih bersih dan lebih cantik lagi. Sementara Saidi, semakin bertambah usia, semakin terlihat tua. Apalagi sehari-hari bekerja sebagai buruh kasar. Tak heran, teman Saidi sesama kuli bangunan kalau dipertunjukkan foto Sarjem sering meledek.

“Sarjem itu lebih pantas jadi mbakyunya Parno, Di” begitu kata mereka.

Api cemburu kini mulai merambat membakar perasaan pria berkulit legam itu. Sorot matanya nanar, bibirnya bergetar hebat, jemarinya tergenggam kokoh. Seakan hendak melabrak apa saja yang ada di depannya.

“Paklik!!!” kata Saidi dengan intonasi tinggi.

“Bantu aku, paklik... coba beritahu aku seperti apa Sarjem di facebook. Sekedar melihat saja paklik. Tolong....” Saidi tak mampu memendam kegundahannya.

Suto tidak segera beranjak menuruti kemauan Saidi. Di tatapnya wajah Saidi untuk memastikan keponakannya itu tidak bertindak gegabah.

“Tapi kamu harus janji tidak emosional, Di”.

Saidi mengangguk.

Sebentar kemudian Suto membuka layar handphone. Tampilan demi tampilan terlihat dilayar. Mulai dari foto –foto Sarjem. Tulisan-tulisan Sarjem, hingga komentar teman-teman Sarjem di jejaring sosial. Dan seperti kata Suto, akun Sarjem dipenuhi foto dan kata-kata mesra dari dan ke seseorang yang bernama Henry Samuel. Ada kalimat bernada rindu, ada rayuan, dan ada juga kalimat sederhana, tapi menarik perhatian mereka.

‘OTW Jakarta’.

Kalimat itu berada di sisi paling atas dengan tanggal pengiriman sekitar seminggu yang lalu.

“Sarjem ke Jakarta, Di” terang Suto.

“Ahhh..yang bener, lik ?”.

“Nih lihat” seraya menunjuk ke sisi atas akun milik Sarjem.

“OTW Jakarta itu maksudnya on the way Jakarta. Artinya dia lagi pergi ke Jakarta”.

“Ya Allah....” keluh Saidi tak habis pikir.

“Buat apa ke Jakarta ?. Menemui laki-laki itu?”.

“Bisa jadi” jawab Suto.

“Kontrak Sarjem selesainya kapan, Di ?”.

Saidi mencoba mengingat-ingat.

“Bulan ini...ya...bulan ini, lik. Dua minggu lalu Parno juga bilang kalau ibunya akan pulang dalam waktu dekat”.

“Masya Allah, Sarjem.....” mendadak Saidi menutup mukanya.

Tubuhnya lunglai bertumpu pada punggung kursi. Nafasnya memburu tak karuan. Tak kuasa pria itu menahan kesedihannya.
Jarak antara Jakarta dan tempat tinggal Saidi sangat jauh. Biasanya kalau Sarjem pulang kampung, selalu turun dibandara terdekat. Bukan di Jakarta. Perjalanannyapun tak memakan waktu lama, hanya sehari naik pesawat. Tapi kali ini Sarjem memilih turun di Jakarta. Sudah seminggu yang lalu pula. Artinya....?.

“Sarjem ketemu berhari-hari sama bajingan itu, lik!” makian kotor melesat dari mulut Saidi.

“Antarkan aku ke Jakarta, lik!” ucap Saidi seketika.

“Jakarta mana ?” Suto melongo.

“Ya tempat dimana Sarjem sama anjing itu tinggal”.

“Gila kamu, Di” Suto menyalahkan Saidi.

“Kamu punya otak nggak sih?. Jakarta itu luas. Lagian kita mau cari kemana ?. Wong kita tidak tahu alamatnya dimana”.

“Coba selidiki di facebook Sarjem, lik” Saidi tak mau menyerah.

“Sudah kita telusuri kan tadi. Nggak ada...”.

“Trus gimana, lik?”.

Suto memejamkan matanya. Otaknya berfikir keras untuk mencari solusi.

“Begini” Suto buka suara.

“Aku akan menghubungi Sarjem lewat facebook. Tapi ini butuh waktu”.

“Aku tungguin. Kalau perlu sampai pagi, lik” potong Saidi tak sabar.

“Terserah saja. Tapi janji jangan merecoki”.

Saidi mengangguk.

Setelah mendapat jaminan dari Saidi, Suto lalu membuka kotak messenger. Melakukan panggilan. Tapi tidak ada jawaban. Sekali lagi Suto mencoba memanggil. Lagi-lagi tidak dijawab. Tak menyerah begitu saja, Suto kemudian menulis pesan dan mengatakan dengan jujur bahwa dirinya adalah paman Sarjem. Hanya butuh waktu satu menit, sebuah pesan jawaban muncul.

‘Oh, Lik Suto. Gimana kabarnya ?’.

‘Baik. Kamu dimana ?’.

‘Lagi dijalan. Mau pulang’.

‘Yang bener ?. Kok nggak bilang-bilang?’

Suto pura-pura terkejut.

‘Nggak mau ngrepotin orang rumah, lik’.

‘Sekarang posisi dimana ?’.

‘Masih dikantor polisi’.

Deg...

‘Kantor polisi ?. Kenapa ?’.

‘Nggak bisa diomongin disini. Aku nelpon lik aja ya...’.

Suto mengalihkan pandangannya ke Saidi.

‘Bentar. Dua menit lagi’.

“Saidi” panggil Suto.

“Iya lik”.

“Kamu keluar rumah dulu ya. Aku mau bicara sama Sarjem. Tenang saja, paklik nanti yang akan menyelesaikan urusanmu”.

“Tapi....”.

“Sudah, kamu ikut saja. Atau aku nggak mau bantu kamu”.

Setelah diancam begitu, akhirnya Saidi keluar rumah. Sutopun kembali membuka handphonenya dan mengatakan pada Sarjem kalau ia sudah siap menerima telponnya.

Handphone berdering.

Lamat-lamat Suto mendengar suara terbata dari ujung sana. Sarjem membuka kisahnya. Sebuah kisah yang mungkin tidak ingin ia ulang kembali. Berkenalan dengan seorang pria tampan lagi mapan di dunia maya. Terbuai rayuan kasih dan janji manis sang pria. Hingga Sarjem seolah terhipnotis dibuatnya. Sarjem yang harusnya pulang langsung ke kampungnya, kini tertambat di Jakarta. Sarjem yang seharusnya cepat-cepat melepas rindu dengan keluarganya, justru menghabiskan siang dan malamnya bersama orang lain. Sarjem yang harusnya membawa hasil kerjanya untuk suami dan anak, malah menyerahkan hartanya dirampok pria asing.

Suto menghela nafas panjang. Batinnya ikut teriris demi mendengar kisah pilu Sarjem. Pandangan Suto terlempar ke teras rumah. Di sana Saidi duduk terpaku dalam diam. Dua puluh tahun pria itu memimpin Sarjem dalam biduk rumah tangga. Ia tidak pernah berpaling. Ia tidak seperti tetangga lain yang bermalas-malasan manakala sang istri mengadu nasib di negeri seberang. Ia tetap berjalan lurus meski yang lain mengambil jalan berputar. Ia tetap memilih setia dan menunggu saat kemenangan itu tiba.

Namun pada akhirnya....

Tidak ada komentar