KHILAF
Karya : Ayyundha Lestari
Tanpa berniat
mendiskreditkan personal tenaga kerja migran manapun, aku hanya ingin
menceritakan sepenggal kisah dua hati yang tak disatukan takdir sebagai
pasangan sejati. Ini tentang tersesatnya sebuah rasa...
Pukul 12 siang, Matheson Street, Hong
Kong
“Kamu kemana aja, sih, Re? Lama banget, dari tadi kami
nungguin piagam itu!” Suara Mikhaeil terdengar kesal dari ujung telepon genggamku.
Langkahku makin terburu, aku harus segera sampai perpustakaan sebelum jam dua siang
ini. Di mana, aku dan kawan-kawan buruh migran yang hobi menulis terkumpul
dalam komunitas Litera Sifa. Saat ini, teman-teman sehobi itu sedang rapat pengurus membahas acara
sastra yang akan di hadiri sastrawan terkemuka dari Indonesia. Piagam ini akan
di berikan pada hadirin.
Foto Ilustrasi |
“Iya, iya, Eil, ini lagi di jalan...” Rasanya ingin terbang jika mungkin. Sambungan
telepon terputus, aku mempercepat
langkah. Di antara ratusan pengguna jalan lalu lalang nyaris tak lekang di area yang di namai Time Square, aku
memondong kertas piagam kosong berjalan dari Wan Chai menuju Causeway Bay setengah berlari. Aku lupa membawa tas
kain, hanya menyandang tas kecil berisi power
bank dan dompet mini. Risikonya, berkas kertas itu harus kupondong karena
jasa printing tidak menyediakan tas plastik. Tiba-tiba, dugh! Bahuku ditabrak
seseorang dari arah berlawanan. Sepasang muda mudi itu menghentikan langkah
seketika. Sementara kertas-kertas piagam berhamburan di jalanan, terlepas dari
tanganku.
“Sorry-sorry,” spontan aku meminta maaf tanpa melirik penabrak
itu. Tak jadi soal siapa yang harusnya minta maaf, aku yakin mereka tak berniat
nabrak orang. Segera aku sibuk memunguti kertas berserakan. Beberapa orang
berbaik hati membantu memungut dan memberikan padaku, yang hanya kuupahi terima
kasih. Duuh, udah telat malah ketabrak
orang, bikin acaraku makin ancur aja huuh! Dalam hati ngedumel sendiri.
Orang yang menabrakku berjongkok, membantuku pula membereskannya.
“Thank you, Sir.” Namun mataku terbelalak ketika aku mendongak,
bertatapan pria itu. Seraut wajah yang pernah kukenal. Agaknya ia tak kalah
terkejut, beberapa detik masih terbengong menatapku. Oh...ada desir yang sulit
kuartikan, terlarut dalam debar yang tiba-tiba. Jantungku berdegup kencang
tanpa alasan.
“Rere...”Kudengar gumamnya lirih, menyebut namaku.
Aku cepat berdiri. Ia pun berdiri, tampak gugup, entah
karena apa.
“Hay, Zain...ini kan si Rere?” Gadis di sebelahnya
menggelayut manja di lengan kokoh Zain.
Iya, aku tahu, ia pasangannya. Sepuluh tahun lalu mereka menjalin hubungan itu.
Tapi, bagaimana mereka ada di Hong Kong? Liburan? Honeymoon? Kaya sekali...
“Ehm, iya...Nggak
nyangka, bisa ketemu di sini” muka tampan Zain masih menatapku, ketika ke
sekian kali mata kami beradu, kudapati mata yang meredup sinarnya,
kemerahan. Perasaanku sangat tidak nyaman.
Saat ini mukaku pasti tampak pias terbawa rasa gugup.
“Ha...halo, Zain, Karla...ehm, sorry aku buru-buru...” tanpa
menunggu jawaban aku berlalu dari hadapan mereka. Ya, begini lebih baik. Duh Tuhan, kenapa
harus ketemu mereka?
*
Pertemuan singkat siang tadi membuatku gelisah. Sebuah nama
yang mustinya kubakar bersama puluhan lembar surat dan fotonya dulu. Argh, masa
lalu tak mungkin kupotong dari hidup ini.
Mungkin aku yang terlalu baper
melihat sorot matanya yang memerah, seakan menahan isak dalam dada. Ia sudah
menjadi milik orang lain, dengan sadar pula, aku melepasnya untuk Karla. Mantan
buruh migran Hong Kong itu, sangat mencintainya. Karena percaya, Zain akan
bahagia dengan Karla aku harus mengalah. Kini, akulah yang menjadi buruh migran
di sini, entah nasip atau kemiskinan yang membawaku kemari. Terpaksa
meninggalkan anakku demi meraih cita-cita dapat hidup layak. Suamiku, tidak
bisa mencukupi kebutuhan hidup kami. Sehingga aku harus berjuang lebih keras
jika ingin mapan.
Tak kupungkiri,
sering ingat Zain. Aku sadar, ini
dosa. Sebab telah bersuami, mungkin juga Zain telah berkeluarga dengan Karla. Rindu
terlarang yang hanya mampu kugenggam erat, tanpa seorangpun mengerti. Jangan
sampai ada yang mengerti soal ini. Zain, tetap surga terdalam di hatiku.
Biarlah begitu sampai mati.
Drrrrrttt. Suara getaran ponsel. Ada panggilan dari unknown number. Kulirik jam dinding, sudah jam sepuluh malam. Aku ragu
mengangkat ponsel, tak pernah ada orang yang menelepon malam begini. Pentingkah? Atau jangan-jangan
orang iseng saja. Kuputuskan mengangkat telepon, barangkali ia teman yang butuh
pertolongan.
“Hallo...siapa nih?”
Sapaku
Tak segera ada sahutan. Hanya terdengar desah napas berat
selama beberapa detik.
“Hey, siapa ini? Adakah yang bisa saya bantu, Mbak?”
“Rere...ini aku...” Terdengar suara bariton dari penelepon
itu, keningku terlipat, suara itu...
Aku gugup sendiri, desir di dadaku menggelora. Bagaimana ia tahu nomorku?
“A...ehm, Zain,
ada apa?”
Kembali terdengar desah. Aku membeku seketika...tidak Tuhan, jangan biarkan semua ini
terjadi...aku tidak boleh mencuri kesempatan di belakang Karla, biarlah rasa
ini abadi sebagai kerinduan hitam yang bersarang begitu dalam. Jangan biarkan
ia merasakan hal yang sama.
“Aku ingin ketemu, kamu bisa menemuiku, besok? Sebentar saja
tak apa, Re.”
Oh Tuhan...bukankah
aku baru mengharap ia jangan begini?
“Untuk apa, Zain? Pentingkah? Aku babu di sini, tidak bisa
keluar rumah sesukaku.”
“Kalau begitu, bisakah kamu menengok jendela kamarmu
sebentar saja?”
Aku terhenyak. Edan! Segera kulongokkan kepala keluar
jendela kamar yang menghadap ke jalan. Astaghfirullahal'adzim...orang itu ngapain, di situ? Kulihat Zain
di jalan sana, masih menempelkan smartphone di telinga, mendongak menatap lurus
ke arah jendela kamar, di mana aku berada. Bagaimana
ia tahu sebanyak ini tentangku? Bahkan di mana aku tinggal, ketepatan menduga posisi
kamarku. Arg! Apa dia itu hantu?
Kami terdiam, hanya saling menatap dari kejauhan. Ia
mendongak, aku menunduk dari lantai enam belas...
“Kamu, gimana bisa tahu aku di sini?”
“Simple, aku membuntutimu.
Bahkan kita satu kereta, apa kau tidak sadar? Aku membuntutimu keluar MTR
menuju Kwai Shun Estate sampai masuk lift kau juga tidak sadar? Setelah tahu
tempat tinggalmu, aku turun dan memetakan perkiraan, bahwa hunian zona T itu pasti menghadapkan tiga tempat ke jalan
raya, jendela dapur, jendela kamar dan jendela ruang tamu. Aku benar, bukan?”
Sulit kupercaya penjelasannya. Kudengar di Korea ia bekerja
di sebuah proyek pembangunan apartemen. Tak terlalu mengherankan jika ia bisa
memperkirakan titik tertentu sebuah gedung. Tentang ia mengikutiku itu...
memang ada seorang pria bertopi yang menutupi wajah dengan masker kain warna
hitam masuk lift apartemen bersamaku. Aku kira ia orang lokal yang kebetulan
satu lantai dengan rumah juraganku ketika ia pun keluar lift dan melangkah ke koridor
yang berlawanan arah denganku. Rupanya ia mengintai diam-diam ke pintu mana aku
masuk. Ah ini gila!
“Ehm, oke, kuakui kamu jenius sejak SMA, tapi kamu
kan, lagi liburan sama istrimu, Zain. Jangan berpikir aneh-aneh, pertemuan tadi itu tidak penting buatku. Kita sudah end sepuluh tahun lalu, kita tidak perlu
menyambung apa yang sudah kita sepakati berakhir.” Meskipun, hatiku berdebar,
tak munafik bahwa aku bahagia atas ulahnya, namun aku harus menyadari, pantang
melanggar sumpah setiaku pada suami. Zain adalah masalalu, dan akan tetap
begitu seterusnya.
“Aku belum menikahi Karla, ia kembali bekerja sebagai
pembantu agensi atas kemauannya sendiri.”
Mataku membulat nyaris tak percaya, sepuluh tahun lalu, Karla merampasmu dariku, sampai kini kau masih
belum memawanya ke pelaminan?
“Aku tidak bisa menghapusmu dari hidupku, Re. Percuma aku
menikahinya tapi hatiku tertambat padamu. Ada yang sangat kusesali, yaitu
membiarkanmu menikah dengan lelaki tolol itu, katakan kau tidak bahagia hidup
dengannya, buktinya kau menjadi buruh di sini sudah empat tahun lebih, hemb,
kenapa aku tidak membawamu lari saja hari itu.”
Aku terpekur mendengar kata demi katanya. Tidak, Zain. Kita tidak bisa egois...
“Kau ini ngomong apa? Sudah lupakanlah. Jalan kita berbeda,
Zain. Berhenti menyesali semua, kita tidak mungkin kemana-mana. Kita tidak
berjodoh, terima saja ini”
“ Jangan bohongi perasaanmu, Re. Aku tahu kamu masih memikirkanku,
aku tahu semuanya!” Nadanya menghentak, seolah tak butuh di bantah “Ya, aku
sadar kita tidak bisa melangkah bersama. Setidaknya, berilah aku waktu sedikit
untuk menatapmu lebih dekat...” lanjutnya.
Aku hanya menggigit bibir, apa yang harus ku katakan padamu? Adalah benar jika kau masih hidup di
relung hati, tapi tidak ada opsi untuk meraihmu. Jika bertemu membuat kita lupa
pada dosa, pada sekat yang membatasi, lebih baik aku berhenti. Percayalah kau
abadi bersama denyut nadi...
“Minggu depan, jam lima sore aku terbang lagi ke Korea, aku
harap masih ada sedikit pedulimu untuk menemuiku, barang sejenak.” Sambungan
telepon terputus. Kami saling menatap
nanar...perasaanku tergoyah...Ia masih
mencintaiku...ia tengah merindukanku jua...walau...
Bis nomor 207 membawa tubuh Zain meninggalkan Kwai Shun Estate
menuju Lai King. Aku masih serasa mimpi
dengan semua yang baru kualami. Zain...Dia menjadi buruh migran Korea,
kedatangannya jelas bukan untukku. Mungkin Karla kembali ke Hong Kong, untuk
menambah pundi -pundinya. Aku tak mengerti
cinta, tak mengerti rindu yang tengah menyiksa kita...
·
Seminggu kemudian...
Aku termangu, tak tahu apa yang harus kukatakan. Dia terdiam
sesekali menunduk, sembunyikan senyum. Ah, dasar lelaki. Ia berhasil membuatku
melangkah ke tepi dermaga Causeway Bay,
menemuinya dengan alasan berpamitan. Rasanya, geli bercampur ngeri menjadi
maling. Tidak nyaman dan sedikit ketakutan, kalau kalau, ada teman atau
tetanggaku yang melihat pertemuan ini. Oh, tak bisa kubayangkan andai hal itu
terjadi.
Tangannya yang hangat meraih jemariku, aku terdiam. Debar
jantungku makin tak beraturan. Rasa yang
dulu memuai mekar bergelora terasa kembali, tapi terasa tabu, janggal. Sepoi
angin tepi dermaga menghembus, menebarkan rambut panjangku, juga anak anak
rambutnya. Musim dingin yang terasa berbeda...
“Re...”
“Ehm”
“Aku...maafkan, aku masih merindukanmu istri orang, aku tidak sanggup menggantikanmu
dengan siapapun.” Ucapannya begitu dalam.
“Tapi, Zain...” Kupalingkan muka, kita tahu ini salah... Tangan kokohnya meraih wajahku dihadapkan
padanya. Kami saling menatap dalam...seakan ada nelangsa melintas di matanya. Entah perasaan apa yang membuat mataku
berkaca, pikiran mulai melayang bernostalgia kembali ke masa bertahun silam, ketika
surat cintanya kubaca, ketika hidup jadi berarti, berharap dapat merajut mimpi
membangun mahligai bersama, ia...kekasihku
yang dulu amat kucintai, tapi bukan
milikku...Dekatnya raga yang sepuluh tahun terpisah dengan dimensi hidup yang telah
berubah, berbeda berlainan arah serasa sebuah kutukan saja...Ia mengusap lembut
sudut mataku yang mulai basah. Matanya menikamku terus menerus, entah apa yang
tengah dilihatnya. Sampai kurasakan napasnya
wangi dekat liang hidungku....seakan membayar rindu yang terhutang
“Wah...! Bagus ya, mengambil kesempatan dalam kesempitan!”
Kami terhenyak kaget! Spontan berdiri bersamaan dan menoleh
asal suara ketus itu. Karla datang dan secepat kilat tangannya menampar pipiku!
“Plakk” Keras! Pipiku terasa panas. Seketika aku merasa
begitu hina di hadapannya saat ini. Mulai dijalari sesal atas keputusanku
menemui, Zain.
“Perempuan sundal! Beraninya kamu merayunya di sini! Mau
merampasnya lagi dariku?!” Murka besar Karla di tujukan padaku, sigap jemarinya
yang berkilat dengan cat merah mengarah lurus hendak mencakar mukaku! Tetapi tangan
Zain bergerak cepat menahannya.
“Karla, hentikan! Aku yang minta dia datang, ini bukan salah
Rere!”
Mata Karla menikam Zain, penuh kebencian, sesekali melirikku
dengan cemburu yang luar biasa. Aku panik, tegang. Ketakutanku terjadi sudah.
Aku pasrah, pantas mendapat tamparan, mengakui
salah. Tangannya ringan menampar pipi Zain “Plakk”
Zain menerima tamparan itu, diam.
“Sejak pertemuan di depan Times Square aku curiga ini bakal kejadian!
Ternyata benar semua! Kamu pengecut, Zain! Di belakangku berani menemuinya!
Untuk apa? Kamu mau menghancurkan hubungan kita, heuh?”
Karla memaki kami berdua menumpahkan semua kecemburuan,
kekesalan yang meledak di kepalanya dengan segala sumpah serapah. Aku dan Zain
terpaku, terbukti salah, terhakimi dan pasrah. Sampai kemudian amarahnya mereda
berganti isak tangis ...
Zain menenangkannya ia terus meminta maaf dan mengatakan masih
perlu bicara denganku sebelum kembali ke Korea. Sementara aku terpaku dalam
rasa bersalah sebagai terdakwa.
Senja menjadi saksi,
merahnya tiga hati karena sebuah rasa yang sama, cinta.
Zain berhasil membuat Karla diam, sedikit tenang. Lalu
meminta izin untuk bicara denganku berdua saja. Kulihat, Karla keberatan, tapi
akhirnya mengiyakan. Zain membawaku menjauhi tempat itu. Di sebuah tempat yang
sepi, hanya kami berdua ia mengungkapkan semua perasaannya selama ini, tentang
hubungannya dengan Karla yang dirasakan hambar. Dan bahwa ia tersesat di
hatiku, apa harus juga kuakui aku tersesat di hatinya?
Satu jam lagi ia harus check
in untuk penerbangan ke bandara Incheon dengan pesawat Chatay Pasific. Cinta
terlarang hangat ini harus di akhiri, pertemuan ini harus di akhiri, rindu ini
harus di sudahi. Ia mengecup keningku
lembut, tak sanggup kuhindari. Lalu berat
hati melepas dekapan sampai di ujung jemari...Bodohnya aku, menerima sikapnya itu, meski sadar ia tak akan bersamaku,
ia bukan untukku.
Air mataku mengantarnya melangkah pergi, tersayat rasanya...Sesekali
ia menoleh. Sedang di ujung sana Karla berdiri tegak menunggunya. Tuhan...ampuni khilafku...
Senja menyepuh langit dengan warna jingga, sempurna. Kala aku dan Mikhaeil menuruni
tangga di jembatan melintang menuju sebuah mini market.
“Adakah yang kamu sembunyikan, Re? Wajahmu terlihat tegang, seperti
memendam kesedihan yang dalam” Mikhaeil menatapku. Bagaimana kau tahu, aku tidak sedang baik-baik saja? Tapi sebaiknya kau
tak usah tahu, kuharamkan kau melihat beban yang kurasakan. Biarlah aib ini
kusandang dalam diam. Walau sampai berzina, tetapi aku cukup merasa hina karena
belum bisa menekan keegoan. Khilaf ini benar-benar kusadari, benar-benar
kusesali...
“Ah, tidak...oh ya, Nania sudah kerasan berada di
perpustakaan tiap libur, ia serius ingin bisa jadi penulis. Sayangnya, kamu
sudah mau mengakhiri perantauanmu, Eil” sengaja kualihkan percakapan.
“Itulah yang sebenarnya membuatku sedih, Re. Tapi kuharap
kamu, Jihan dan Nania tetap menghubungiku kalau aku sudah tidak di sini lagi.
Kalian adalah generasi baru Litera Syifa Hong Kong. Hidupkan terus sastra babu
yang kita bangun dengan susah payah ini”
Aku hanya mengangguk, tapi pesanmu merasuk.
“Hey, hampir lupa kusampaikan, kamu dapat salam dari Farukh Zain.”
Seketika langkah kakiku terhenti, tertegun kutatap Mikhaeil
lantaran ia sebut nama itu. Agaknya ia terheran oleh sikapku.
“Kenapa?” Ia lempar senyum.
“ Farukh Zain?” Mataku menyelidik, benarkah yang dimaksud
adalah orang yang sama?
Mikhaeil tersenyum, matanya berbinar teduh seperti biasanya.
Ia tunjukkan sebuah foto dari galeri ponselnya, tampak sebuah keluarga besar
dari satu peranakan.
“Ini keluarga besarku, nenek kakek, ayah ibu, pak dhe dan
keluarganya. Nah ini Farukh Zain, dia juga kenal kamu toh?” Tangannya menunjuk satu per satu wajah di layar itu. Dan satu
nama terakhir membuatku membulatkan mata.
“Mas Zain itu kakak sepupuku yang tinggal di Madiun. Saat
ini bekerja di Korea, dia datang menginjungiku dan calon istrinya. Minggu lalu
ia ke perpustakaan, kalian gak sempat ketemu. Setelah kamu pergi sama Nania dan
Jihan, ia meminta nomormu, ya kukasih aja,
dia bilang kenal baik sama suamimu.”
Degh. Debar jantungku kembali keras. Oh, ternyata seperti
itu dia mendapatkan nomor ponselku. Tapi, biarlah dia bilang apa, yang jelas
aku tak ingin Mikhaeil tahu masa lalu kami. Biarlah, masa itu terkubur di benam
waktu. Aku dan Zain menyepakati perpisahan ini. Kami janji untuk tidak menembus
batas yang ada. Semoga, Tuhan mengampuni kekhilafan kami dan tidak lagi
kutemukan jeda melupakan semua....#
23 February 2018
Kwai Fong Estatte
Tidak ada komentar