Dystopia de Karmik
Karya : Ayyundha
Lestari
Anak laki
sepuluh tahun itu menyodorkan kembang api. Di tengah gurun pasir tanpa
penghuni, terperangkap alam dengan kubah langit tanpa tepi, anak itu bagai
datang dari lain dimensi yang terbawa deru angin tak terdeteksi. Mata pria
dewasa bertubuh tegap mengerjap, sekitarnya kosong, ia memindai sosok di
hadapannya, wajah bocah itu lebam kehitaman, tanpa sepotong busana selain
celana putih buluk dengan bercak merah. Ia kenal bocah yang kini menyuguhkan seikat
kembang api. Sampai di tangannya,
kembang api yang memercikkan nyala pecah-pecah seketika meledak! Ia terlempar
jauh, terhempas dengan kejut luar biasa. Anak itu sirna, semisteri ia tiba.
Terengah,
rasa takut menjalar ke permukaan kulitnya. Ia ingin lari dari padang pasir
tanpa ujung. Tempat itu mengingatkannya pada situs the door to hell, ia terperangkap tanpa tahu jalan pulang. Tiba-tiba seraut wajah bocah bersimbah darah
dari mata, mulut, hidung, telinga, menyeruak persis di depan mukanya! Sungguh
mengentak ketakutannya! Teriak lantang dengan mulut terbuka seolah siaga
mengunyah raganya seperti permen.
“Jangan!”
Ia terenyak,
seketika bangkit terduduk. Keringat sejagung merembes dari pori. Dadanya masih
berdegup nyeri. Kaget bercampur ngeri. Ia dapati kamarnya masih genap. Ia toleh
badan istrinya masih meringkuk pulas. Setelah meninggalkan rumah mewah berpagar
biru dengan arah tusuk sate, berpindah ruang bisu hingga membangun rumah baru,
mimpi itu mengejar bagai menangih hutang.
*
Seraya menyediakan kopi panas teman sarapan paginya,
istrinya yang cantik berkata
“Mimpi hanya kembang tidur, Mas. Jangan terlalu risau,”
Kunyahannya melambat. Pikirannya terhimpit kengerian. Tidak
terhitung, mimpi itu terus menyerang. Berbagai cara ia lakukan untuk mengusir
kemungkinan. Ikut saran kiyai, ikut saran dukun, ikut saran teman. Nihil.
Ritual-ritual secara berkala ia lakukan, demi menghalau mimpi. Namun mimpi itu tak memberi jeda. Tapi ia tidak
ingin cerita kedatangan bocah itu didengar warga sekitar. Tetangga bahkan
pekerja peternakan ayam miliknya akan bebas berasumsi, seklenik mungkin,
memposisikan dirinya tengah mengalami...karma.
*
Gelombang persoalan bergiliran datang, anak sulungnya pulang
mabuk. Anak bungsunya sakit parah dan terus mengigau, tanpa dokter menemukan
penyebab sakit yamg diderita. Ia stress. Istrinya menenangkan, meyakinkan semua
akan kembali baik-baik saja. Sedang tak seorang pun tahu, kepalanya nyaris
meledak memikirkan persoalan bertubi datang.
Anak keduanya belum sadar diri, masih meracau tak jelas
kapan berhenti. Pekerja di peternakan berdemo minta naik gaji, kolega bisnis
yang ditipunya menuntut perkara, penjualan telur merugi, bank negara mengirim surat
pemasangan segel atas rumah bercat biru seluas seribu ru. Kabar kebangkrutan
segera menyebar, bank negara memasang namanya di papan penguman lelang harta.
Bisik tetangga makin riuh. Membuatnya terkucil, kerdil,
bagai tak berhak menghirup udara di muka bumi. Sering, ketika Juragan Anam
duduk di beranda rumah baru, yang dibangun di atas tanah warisan istrinya, tak
jauh dari rumah lama, nenek sepuh tetangganya
lewat memanggul seikat besar ranting kering. Ia tahu, kepada ranting kering
itulah hidup si nenek kini bertumpu, setelah
kehilangan segala yang dimiliki. Anak dan menantunya pergi merantau ke luar
negeri, menitipkan buah hati semata wayang mereka pada tubuh renta itu, namun
kabar terakhir yang datang, mereka meninggal dalam perjalanan, sebelum sampai
ke negara tujuan. Kapal laut yang mereka tumpangi karam tanpa menyisakan
ampunan bagi satu nyawa pun. Kendati kemudian datang jasad menyempurnakan nama
di batu nisan. Wajah kisutnya pancarkan ketabahan, bahkan sanggup melenyapkan
tatapan dendam untuknya seraya menyapa dengan senyum getir yang diolah semanis
mungkin.
Setiap kali itu terjadi, ia tertunduk, sangat terhinakan.
Nuraninya mengutuk tak henti. Senyum nenek bocah yang mati di saksikan pohon
jati, di hadapannya. Senyum yang mendongkrak namanya lebih populer seantero
desa, yang pula pernah mendatangkan intelegen polisi menangkap dan
menjebloskannya ke ruang bisu dingin, serasa ia dibenamkan dalam kubang es
antartika.
*
Bocah itu datang lagi. Bersenjatakan kampli kain bekas wadah tepung
terigu, ia gesit masuk ke kolong kandang ayam, di atasnya ribuan ayam
menghadiahinya tahi. Tangannya cekatan mengais gundukan kering tahi ayam, di
sela aroma amoniak, ia dapatkan beraup-raup gelugit ulat mengkilat kehitaman
seukuran lidi. Dengan kampli itulah ia wadahi, setelah dapat sekira dua kilo,
ia pergi, tak lupa mengucap terima kasih pada pekerja yang berjaga.
Ulat hitam itu disilir, dibersihkan dari sisa pakan ayam dan
serintilan tahi ayam kering. Setelah bersih, ia jual pada penadah. Dua puluh
ribu per kilo, lumayan menyumbang kebutuhan neneknya yang hanya berprofesi
sebagai pencari ranting kering yang dibeli Pak Lurah, lima belas ribu seikat,
walau semua orang tahu, ranting-ranting itu hanya akan teronggok hingga
didaur koloni rayap, kembali meremah
jadi humus tanah.
Seminggu dua kali bocah itu datang ke peternakan, meminta
izin pada siapa saja yang ditemuinya mengais peruntungan di bawah terpaan
amoniak dan mencretan ayam sakit perut. Sebagai yatim piatu, ia ingin bisa
membantu neneknya yang telah uzur, ia ingin menjadi penting, berarti dan
membanggakan. Usianya sepuluh tahun, tetapi tak punya mimpi bersekolah tinggi.
Satu-satunya impian, sebagai harta termegahnya adalah memberi uang pada nenek.
Hatinya berdenyut, haru penuh menyesak hingga ujung dada, mengantar kaca-kaca
di mata, ketika melihat nenek menerima uang dari hasilnya berburu ulat pakan
burung. Ia ingin selalu melihat senyum di lekuk wajah kisut itu, sampai ia
dewasa dan bisa bekerja. Ia mau memberi banyak dan semua tenaganya untuk orang
yang menaruh kekuatan di tengah kerapuhan menerima kenyataan. Ia harap, segera
tamat SD, tulangnya kuat bekerja, demi secuil bahagia tanpa membebani wanita
sepuh yang makin membentuk huruf r karena osteoporosis. Terlalu lama tubuh
renta itu memikul beban.
Ia terus berdoa, ia terus melangitkan asa, ia ingin lekas
dewasa. Ia tak tega menyaksikan neneknya bertambah tua, tanpa kesiapan hidup
layak, tanpa kesiapan apa jua untuk hari esok yang gemilang, selain kesiapan
menemui kematian. Ia meyakinkan diri, harus ia yang mendongkrak kebahagiaan dan
kelayakan hidup mereka.
Matahari condong ke barat bersinar terang, meski sekumpulan
awan kolomunimbus kelabu mulai berpencar dan memburu tempat menguasai keluasan
langit senja. Bocah kurus datang lagi ke peternakan ayam, semua pekerja telah
pulang. Hanya tinggal seorang penjaga yang berdiri menatap kedatangannya. Ia
minta izin seperti biasa. Penjaga itu berbisik ; “Jangan lama-lama, Le. Juragan semalam ngamuk, katanya,
banyak ayam stress dan tidak bertelur setelah kamu obok-obok teleknya. Hati-hati, aku akan
mengawasimu dari sini. Kalau kau dengar siulan, segera pergi dari pagar belakang,
pintunya belum kukunci.”
Ada jeda untuk mencerna informasi Pak Penjaga. Sebuah
kejutan yang tak ia sangka. Sebelumnya semua terasa baik saja. Tetapi kode ini
membuatnya waspada. Ia belum tahu bagaimana mendekripsikan sebuah kode bahaya.
Tetapi hari ini, firasatnya berbisik melankolik.
Baru tiga raup ia masukkan dalam kampli ketika terdengar
siulan Penjaga. Ia tersentak dan buru-buru menambah dua raup dimasukkan kantong
kain lalu secepat anak kijang berlari ia keluar kolong kandang ayam, gegas
menuju gerbang belakang sesuai instruksi Penjaga.
“Mau lari kemana, Dimas!” Suara tegas juragan Anam
menghentikan laju kakinya. Seketika tungkainya lemas. Ia kepergok. Sang juragan
mendekat, geram, dengan buku jari mengepal rapat. Sorotnya murka bagai
dipinjami mata malaikat Zabaniyah. Ia mengkerut, takut, gentar, gemetar.
“Ma...maaf, Gan. Say...saya nggak berani lagi...say...saya
hanya nyari ulat...” Suara bocah itu vibra tubuhnya bagai kehilangan sendi.
Tremor. Penjaga lekas mendekat, mencoba
melindunginya, namun sebuah bogem menghantam lambungnya hingga membuatnya
terhuyung sebelum ambruk ke tanah!
“Lepas dia, Gan...saya akan tanggung jawab, saya yang kasih
dia izin masuk...”Penjaga itu meratap, menghiba belas kasihan.
Mata juragan menajam. Seringainya mengawali hajaran bertubi
menyerbu bocah itu, tangan kakinya tak kenal ampun. Darah bermuncratan...tubuh bocah
itu ambruk melimbung, lepas, lemas, tiada daya, kali terakhir tinju lelaki
tinggi besar itu mengakhiri erang panjangnya...ia terempas, tiada napas, mata
bocor, sekujur lebam, darah mengalir dari telinga dengan mata terbuka, dengan
hati terluka, dengan asa tersia...ia ringan mengapas...
Hal terakhir yang ia dengar, raung Penjaga yang menangisi
jasadnya, disaksikan pohon jati bisu, terpenjara beku. Ruang tempatnya berpijak
adalah nirwana maha luas, dalam kebingungan ia melihat orang tuanya datang. Di relung
terdalam ia kehilangan, sosok bungkuk kisut alasannya berjuang...
*
Setelah tragedi senja itu...
Juragan Anam yang kaya raya mulai dibayangi hal paling
mengerikan, miskin. Ternyata yang datang tak cuma itu. Gelombang samsara datang
bergulung membawa seribu petaka. Istrinya yang cantik berselingkuh ketika ia
dalam penjara, karena kasus bocah itu. Anak sulungnya frustrasi, lari ke obat
terlarang dan pulang mabuk tiap hari, anak keduanya terpantek di rumah sakit
tak kunjung sembuh, ia bangkrut perlahan, rumah disita bank, ia dikucilkan
keluarganya sendiri. Ia hanya punya sedikit modal untuk bangkit membangun lagi
bisnis yang terberai. Namun seolah, tak puas nasip menjatuhkannya. Setiap
langkah bisnisnya maju diawal, tetapi akhirnya berujung satu pemahaman,
bangkrut. Sebobrok apa keluarganya, tetap ia rawat sebab hanya di situlah surga
kecilnya yang terbaik.
Mimpi buruk terus menyerbu. Ia nyaris gila, ia nyaris
menyerah, ia tak lagi punya kekuatan bertahan. Segalanya menuntutnya untuk
mengakhiri kehidupan. Tetapi ia tidak lakukan, ia masih punya niatan
memperbaiki kesalahan. Ia tak mau mati dengan gunjingan dan piutang di luar batas
membayar. Ia, masih harus menunggu datangnya kemungkinan, kesempatan kedua
dalam perjudian hayat entah sampai kapan.
Kwai Fong 29 Juni 2018
Base on True Story.
Tidak ada komentar